Wednesday, June 21, 2017

Strategi Membangun Kekakayan Tanpa Riba part5

PERTANYAAN 5
SEBERAPA MURAH BIAYA HIDUP ANDA?

Suatu saat, seorang ustadz memperkenalkan saya dengan seorang pengusaha.
Sebelumnya, saya hanya pernah berbicara dengannya melalui telepon. Dia
bukan pengusaha kecil-kecilan. Tak kurang dari tambang emas, perkebunan,
dan aneka perusahaan lain dimilikinya. Penghasilannya mencapai puluhan miliar
rupiah per bulan. Kabarnya, dia sampai bingung, uangnya itu mau dia pakai apa
lagi. Sejumlah rumah megah dan mobil mewah dia miliki, cincin seharga Rp 500
juta lebih menghiasi jarinya. Hobinya mengoleksi berbagai benda antik seperti
lukisan seharga Rp 35 miliar hingga gading gajah kuno Afrika. Semua terbeli,
seperti kerupuk.

Itu dulu. Ketika akhirnya dia berjumpa dengan saya, yang ada tinggal keluh kesah.
Yang dia sebut-sebut hanya utang dan utang. Rp 26 miliar harus lunas dalam
tempo enam bulan, tanpa dia tahu mau dibayar dari mana. Usaha tambang
emasnya tak lagi bersinar, bahkan mulai berkarat. Padahal, di masa kejayaannya,
“karat” adalah kata favoritnya. Di saat yang sama, lini perusahaannya yang lain
ikut surut. Uang tunai tak lagi di tangan, habis untuk membayar tagihan. Koleksi
benda antiknya tak bisa jadi solusi. Macet total.

Bayangkan, seorang pengusaha dengan penghasilan puluhan miliar per bulan,
kini berada di titik nol. Tabungan nol, penghasilan nol. Tahukah Anda, mengapa
bisa terjadi? Gaya hidup. Itu biang keladinya. Kemewahan dan gaya hidup mahal
yang dipilihnya membuat sang pengusaha tidak menghargai uangya dengan
cara yang benar. Dia lupa menabung secara rutin, melakukan investasi yang
sehat, dan lupa membangun kekayaan yang sesungguhnya. Gaya hidup mahal
memangsanya seperti silent killer. Hidup mewah membuatnya terbuai dalam
kenyamanan tingkat tinggi. Padahal, di saat yang sama, penghasilannya kian
keropos, dan sumbu bom waktu mulai menyala. Berikutnya mudah ditebak.
Tanpa bisa dicegah, kini dia dan keluarganya hidup dalam kemiskinan.

Satu kisah lagi. Kali ini bukan dari kalangan pengusaha. Teman saya, seorang
profesional lulusan Jerman yang cemerlang. Di puncak karirnya, posisi direktur
sebuah perusahaan otomotif memberinya penghasilan tak kurang dari
Rp 100 juta sebulan. Lazimnya direktur, dia memperoleh fasilitas mobil dinas
dari perusahaan. Tapi dengan penghasilannya yang cukup besar, ia merasa
perlu membeli mobil mewah juga. Toh uangnya ada dan cukup. Dia merasa
lebih percaya diri setelah dua mobil mewah mengisi garasinya. Rumah besar di
kawasan perumahan elit itu terasa lengkap.

Sayangnya, sebuah pertemuan yang tak disengaja membuat saya terhenyak.
Awal tahun 2009 yang lalu, saya dapati dia sedang berjalan kaki dan mondar mandir
menunggu taksi. Gaya menterengnya sudah luntur sama sekali.
Pemandangan itu membuat saya pilu. Pasalnya, saya juga kenal banyak mantan
anak buahnya, dan mereka hidup nyaman. Padahal ketika masih bekerja di
perusahaan otomotif itu, penghasilan mereka jelas lebih kecil dibanding sang
direktur. Lagi-lagi gaya hidup yang jadi biang keladinya!

Guru-guru di kampung saya, di Desa Bawang, Batang, mempunyai penghasilan
sekitar Rp 1,3 juta sebulan. Dengan jumlah itu, mereka bisa memenuhi kebutuhan
keluarga. Ketika pemerintah berjanji hendak menaikkan gaji guru hingga Rp 2
juta sebulan, banyak yang berpikir bakal bisa menabung. Setidaknya Rp 300.000
sebulan. Faktanya, begitu gaji guru betul-betul naik, ternyata menabung tetap
barang langka. Gaji mereka naik nyaris 100%, tapi para guru itu tetap merasa
kurang dengan penghasilannya.

Utang buruk membuat banyak orang kehilangan kehidupan karena
dikejar-kejar debt collector. Contoh utang buruk yang paling banyak di
Indonesia adalah kartu kredit. Lebih berbahaya lagi karena kartu kredit
dianggap sebagai gaya hidup. Batas pinjaman yang ada dalam kartu
kredit sering dianggap sebagai batas spending. Yang dipikirkan oleh
pemegangnya bukanlah berapa sisa yang harus dibayar, tetapi berapa
batas yang bisa dihabiskan.

Tiga kisah nyata di atas mengundang pertanyaan besar: mengapa? Mengapa
orang yang bertahun-tahun bekerja keras, bahkan dengan penghasilan yang
luar biasa besar, ternyata tidak bisa jadi orang kaya? Sebaliknya, mengapa orang
yang berpenghasilan biasa saja justru bisa kaya, dan hidupnya lebih nyaman
tanpa dikejar-kejar utang?

Sebenarnya, kisah yang lebih tragis pun saya alami. Bersemangat membangun
usaha, gagal, terlilit utang, dan dikejar debt collector adalah episode pahit dalam
hidup saya. Ya. Saya pernah terjerembab ke lubang utang yang sangat dalam.
Ketika sempat bangkit, saya kembali jatuh untuk kedua kalinya, bahkan dengan
beban utang yang lebih besar. Saya selalu mengenang masa itu sebagai titik
paling kritis dalam hidup saya.

Alhamdulillah, saya akhirnya bisa bangkit perlahan-lahan. Dengan perbaikan
di sana-sini, saya bangkit dengan pengetahuan, pengalaman, dan mentalitas
yang lebih tangguh. Ternyata, pengalaman saya saat jatuh bangun diperhatikan
oleh teman-teman sesama pengusaha, dan mereka sering datang ke saya untuk
berbagi cerita. Apa saja yang biasa kami perbincangan? Simak yang berikut ini.

Menurut saya, membangun kekayaan pribadi, kekayaan keluarga, kekayaan
perusahaan, atau membangun kekayaan bangsa sekalipun, prinsipnya sama.
Sama-sama sederhana. Menjalankan prinsip sederhana ini memang tidak
selalu mudah; tapi menjalankan prinsip yang rumit sudah tentu susah. Sebelum
membahasnya, mari kita telusuri beberapa kesalahan berpikir yang lazim di
masyarakat kita :

• Jika penghasilan naik, maka kesejahteraan akan meningkat, berarti semakin
kaya
• Jika penghasilan semakin tinggi maka hidup jadi semakin mudah
• Jika penghasilan semakin tinggi maka tabungan semakin banyak

Kenyataannya, yang lebih sering terjadi tidak seperti itu. Banyak orang yang
jatuh miskin justru setelah penghasilannya meningkat. Kehidupannya juga
semakin rumit, utangnya bertambah banyak. Penghasilan yang semakin besar
jadi memudahkan mereka mengubah gaya hidup. Merasa mampu membayar,
mereka berani hidup dengan standar yang lebih mahal. Semakin lama semakin
terlena dan semakin berani.

Peningkatan pendapatan yang mereka peroleh lebih banyak digunakan untuk
membiayai life style mereka yang baru. Ujung-ujungnya, gaya hidupnya itu
menuntut ongkos yang jauh lebih tinggi dari kenaikan income-nya. Dan
sayangnya, orang yang sudah terlanjur menikmati nyamannya peningkatan
gaya hidup akan sangat sulit meninggalkannya. Akibatnya, dia akan melakukan
apapun untuk mempertahankannya. Tak sanggup rasanya jika harus kembali
ke gaya hidup lama, sebelum penghasilannya meningkat. Sudah duduk lupa
berdiri.

Anda masih ingat kisah pak Herman, pedagang brownies kering kita? Setelah
usaha kulinernya beranjak maju, gaya hidupnya melaju lebih kencang. Dia salah
memperlakukan uangnya. Berkaca pada kisah hidupnya, mari kita lihat tiga
macam mentalitas orang terhadap uang :

1. Mentalitas Miskin
Golongan pertama adalah orang dengan mentalitas miskin. Begitu
memproleh penghasilan, prioritas pertama dan utamanya adalah segera
menghabiskannya! Ajaibnya, dia bahkan lihai menghabiskan penghasilan
yang belum ada di tangan. Orang bermental miskin selalu ingin merasakan
pengalaman memiliki sesuatu. Dalam kurun waktu yang lama, dia harus
membatin harap, andai aku bisa beli itu...

Begitu ada uang lebih, mereka bergegas memuaskan keinginannya itu.
Orang dengan mentalitas miskin tak pernah peduli dengan jumlah yang
harus harus dibayar. Dia hanya menghitung, apakah penghasilannya cukup
untuk membayar cicilannya atau tidak. Di Jawa Timur, saya menemukan Bank
Thithil, di Jawa Tengah ada istilah Bank Thengel atau Bank Plecit. Nasabah
setia mereka adalah orang-orang miskin dengan mentalitas miskin.

Perhitungannya begini :
Dari utang yang diajukan Rp. 100.000,00 “nasabah” menerima tunai
Rp. 90.000,00. Biaya administrasi Rp. 10.000,00 langsung dipotong oleh
“bank”. Cicilan yang harus dibayar adalah Rp. 4.000,00 setiap hari selama 30
hari. Berapa totalnya? Peminjam harus membayar Rp. 120.000,00 dari utang
yang sebenarnya hanya Rp. 90.000,00. Anda bisa hitung berapa bunganya?
30% per bulan! Tinggi sekali.

Utang itu seperti anak-anak. Semakin kecil semakin senang menciptakan
kegaduhan.~ peribahasa Spanyol ~

Ironisnya, orang kaya tidak akan membayar bunga sebesar itu, namun orang
miskin mampu! Tak ada tanda bahwa “bank-bank” yang terang-terangan
memakai sistem riba itu bakal hilang dari masyarakat. Kehadiran mereka
selalu dinantikan, walau disertai dengan rangkaian keluhan. Hubungan riba
dengan pemakainya persis seperti pengedar narkoba dengan pecandunya.
Dibenci, tapi selalu dicari.

Di Semarang, saya tahu ada seorang tukang tambal ban. Setiap hari, dia
harus membayar Rp 25.000,00 kepada rentenir berkedok bank ini. Setiap hari,
di sepanjang hidupnya, hanya hari Minggu dia bisa bebas sejenak dari cicilan.
Utang apakah itu gerangan? Ternyata, ketika hendak menikahkan anaknya,
dia memutuskan untuk membuat syukuran kecil-kecilan yang akhirnya
berkembang menjadi rencana pesta. Dengan harapan memperoleh uang dari
hadiah pernikahan, dia nekat mengajukan utang ke bank rentenir sebesar
Rp10.000.000,00. Perjanjian ditandatangani, dia menerima saja ketentuan
cicilan harian Rp25.000,00 sekian ratus kali. Entah karena menganggap
jumlah itu kecil atau tak punya pilihan lain, dia mengiyakan.

Hanya beberapa hari setelah pesta yang meriah itu, setoran harian mulai
berjalan. Dia harus menyerahkan sebagian besar penghasilannya yang hanya
tiga puluh sampai empat puluh ribu rupiah itu setiap hari. Sampai kapan?
Dia sendiri tak tahu. Seluruh hidupnya telah dia gadaikan demi gengsinya,
menggelar pesta pernikahan. Bukan hanya itu, dia bahkan melukai ikatan
suci pernikahan anaknya dengan riba yang nyata-nyata diharamkan agama.

“Running into debt isn’t so bad. It’s running into creditors that hurts.”
~ anonim ~

Lantas, apakah orang miskin saja yang punya mentalitas miskin? Ternyata
tidak! Banyak orang yang berpenghasilan besar menjadi miskin karena
memiliki mentalitas miskin. Mereka jatuh miskin karena tidak mau berhitung
dengan biaya yang harus ditanggung untuk setiap keputusannya. Mereka
berani bermain di wilayah berbahaya, dan akhirnya menggadaikan hidupnya
kepada riba.

SPENDING adalah fokus utama orang bermental miskin. Dia selalu ingin
membeli sesuatu, memiliki sesuatu, atau melakukan sesuatu. Sayangnya, dia
melakukannya tanpa pernah menghitung apakah dia memiliki uangnya atau
tidak. Toh setiap kali saya kekurangan uang, saya masih bisa ngutang, begitu
pola pikirnya. Kalaupun hidupnya dan hidup keluarganya harus tergadai
demi keputusannya, itu urusan belakangan. Dia bukan tidak tahu. Sepanjang
sejarah, terlalu banyak contoh kasat mata berlalu di hadapannya. Banyak
orang yang dikenalnya terjerat riba dan sengsara. Tapi, dia terlalu yakin,
bahwa kekonyolan itu tak akan pernah menimpanya.

Orang dengan mentalitas miskin tidak pernah terlepas dari utang. Bahkan
sebelum utangnya yang satu selesai, dia selalu berhasrat untuk berutang
lagi. Utang itu sama sekali bukan untuk investasi, tapi untuk membiayai
hidupnya. Orang dengan mentalitas ini tidak akan pernah menjadi orang
kaya, dan akan tetap miskin hingga akhir hayatnya. Keadaannya tak akan
berubah walau sebanyak apapun uang di tangannya. Misalnya, suatu saat dia
memperoleh warisan atau menang lotere. Rekeningnya mendadak gemuk
oleh rupiah. Anda bisa tebak, apa yang pertama kali dia lakukan? SPENDING!

Dalam satu atau dua tahun, dia akan kembali pada kehidupannya semula,
tetap miskin. Bahkan lebih miskin. Intinya, berapapun uang yang ada di
tangannya, yang dia lakukan adalah menghabiskannya. Rencana masa depan
tak pernah ada dalam kamus hidupnya. Yang dia tahu adalah right here, right
now.
“Orang miskin fokus pada spending”

Keterangan gambar :
Begitu ada income dari pemberian, gaji, atau utang, uang tersebut langsung

dihabiskan untuk expense.

2. Mentalitas Middle Class
Golongan kedua adalah orang dengan mentalitas middle class, atau kelas
menengah. Mereka berpenghasilan tinggi dan terlihat kaya. Saya ulangi:
terlihat kaya. Orang-orang dari kelas ini cenderung fokus untuk terlihat
kaya. Bukan menjadi kaya yang sesungguhnya. Artinya, mereka tidak tahu,
perbedaan antara kaya dan terlihat kaya. Sukses dengan terlihat sukses.
Semua aset dan energi mereka curahkan untuk mempermak penampilan
agar dipandang “wah” oleh orang lain. Dan di saat yang sama, mereka lupa
membangun kesuksesan yang sesungguhnya.

Ekonomi adalah darah kehidupan. Siapa yang belum merdeka dalam
ekonomi kemungkinan besar belum merdeka dalam kehidupan.
Temukan rahasia bagaimana membangun bisnis dengan pintar, kapan
menggunakan utang, utang seperti apa yang harus dihindari, dan
bagaimana menguasai strategi jitu untuk keluar dari lilitan utang, dan
hidup benar-benar kaya!

Coba Anda perhatikan. Jika suatu saat Anda melihat teman SMA, setelah
belasan tahun berpisah. Dia sedang ngopi di sebuah kafe mahal. Di dekat
cangkir kopinya tergeletak smart-phone terbaru dan kunci mobil mewah. Apa
yang pertama kali Anda pikirkan? Kemungkinan besar Anda akan menduga
bahwa dia sudah jadi orang sukses. Apalagi jika Anda mengingatnya sebagai
murid pandai di kelas, atau anak orang kaya. Semoga dugaan Anda benar.
Jika ternyata tidak, maka teman Anda itu ada di golongan middle class.

Yang menjadi fokus orang-orang di kelas menengah ini adalah life style. Yang
mereka perjuangkan adalah gaya hidup. Bahkan, gaya hidupnya adalah cara
hidupnya, ideologinya. Yang selalu membuatnya risau adalah penilaian orang
lain. Apapun akan dilakukannya untuk terlihat sukses di mata orang lain.
Akibatnya, dia akan menghabiskan sebagian besar penghasilannya, bahkan
berutang demi membiayai gaya hidupnya.

Sebagian dari mereka adalah orang yang pernah memiliki penghasilan
tinggi, atau punya uang banyak. Ketika kemampuannya mengelola uang
tidak bisa jadi sandaran, maka sebanyak apapun uangnya, dia akan menuju
kemiskinan. Masalahnya, mereka terlanjur yakin bahwa gaya hidup mahal
adalah andalannya untuk tampil percaya diri. Dia harus berjuang untuk
mempertahankannya. Akhirnya, biaya hidupnya yang mahal mengalahkan
segala prioritas, termasuk menabung dan berinvestasi

Ironisnya, orang-orang middle class juga menjadikan investasi sebagai gaya
hidup. Dia sangat ingin disebut orang kaya, dan punya banyak investasi.
Dengan tujuan itu, dia serahkan uangnya untuk dikelola orang lain, dengan
harapan memperoleh keuntungan berlipat. Kenyataannya, orang-orang dari
kelas menengah ini banyak yang kehilangan uang saat investasi maupun saat
mengelola bisnis sendiri. Dia tak pernah peduli pada investasi yang dipilihnya,
ataupun bisnis yang dijalankannya. Dia pikir, uangnya akan bekerja sendiri
dan menyetorkan keuntungan baginya. Lebih dari itu, uang yang semestinya
difokuskan ke investasi atau bisnis seringkali dia preteli untuk membayar
gaya hidup mewahnya tadi.

Para pengusaha cenderung tidak terganggu dengan gaya hidup. Mereka
peduli dengan uangnya, dan berusaha memanfaatkannya dengan bijak

Seorang direktur di sebuah perkebunan skala nasional, yang sangat ahli
di bidangnya, dan menjadi komisaris di mana-mana, tinggal di kawasan
perumahan Pondok Indah Jakarta. Rumah itu sama sekali bukan miliknya.
Dia menyewa, dan harus membayar Rp 800 juta setahun.
“Mas, Anda tidak tertarik untuk membeli rumah?”, tanya seorang kawan.
“Suatu saat saya pasti akan membeli rumah,” jawabnya sambil tersenyum.
“Mengapa suatu saat? Anda sebenarnya sudah bisa membeli rumah sejak
tahun kemarin.”
Percakapan itu tak perlu berlanjut. Kawannya langsung paham bahwa sang
direktur sangat peduli dengan gaya hidupnya. Kawasan Pondok Indah
memang identik dengan hunian orang-orang kaya. Demi ingin merasa kaya
dan dianggap kaya, dia rela tinggal di sana dengan menyewa rumah Rp
800 juta setahun. Padahal, dengan uang sebesar itu, dia sudah bisa membeli
rumah yang layak.

Teman saya mempunyai adik yang berprofesi sebagai artis. Adiknya itu hobi
mengendarai motor besar. Tunggangan sangar itu dia beli dengan harga tak
kurang dari Rp. 400 juta, dan dia terlihat sangat menikmati kehidupannya.
Tak ada yang menyangka, kalau untuk hidup sehari-hari, dia mengandalkan
kartu kredit, utang kesana kemari, termasuk ke kakaknya. Miris sekali.

Saya sendiri sering terbang ke luar negeri, untuk keperluan bisnis, konferensi,
maupun jalan-jalan dengan keluarga. Sesekali saya mengamati, banyak rekan
pengusaha yang memilih fasilitas penerbangan tiket kelas ekonomi atau
bisnis. Di saat yang sama, ada beberapa orang yang selalu memilih tiket kelas
bisnis dan first class. Siapakah mereka? Mereka adalah para eksekutif yang
bekerja di perusahaan-perusahaan besar. Artinya, para pengusaha cenderung
tidak terganggu dengan gaya hidup. Mereka peduli dengan uangnya, dan
berusaha memanfaatkannya dengan bijak. Sebaliknya, kalangan menengah
sangat risau jika merasa gaya hidupnya turun. It’s all about life style!

Middle Class membelanjakan uangnya untuk menciptakan kewajiban baru,
yakni utang baru. Middle class sangat suka terlihat kaya. Padahal, ongkos
untuk terlihat kaya itu jauh lebih mahal daripada menjadi kaya!
“Middle class fokus pada life style”
Keterangan Gambar:
Begitu ada income, sebagian besar akan digunakan untuk membeli gaya
hidup yang menciptakan kewajiban atau liability; dan akhirnya menjadi biaya
yang harus dibayar.

Bagaimana akhir kisah orang-orang middle class ini? Dengan penghasilan
yang tak pernah cukup—sebanyak apapun digitnya—mereka tak punya
anggaran untuk investasi atau membangun bisnis yang sehat. Semua habis
demi kendaraan mewah, hobi mahal, gadget canggih, dan penampilan
mentereng. Walaupun tahu bahwa mereka hanya mengulur waktu, tapi
menghentikan gaya hidupnya bukan hal yang mudah. Cepat atau lambat,
secara teknis orang-orang ini akan berakhir bangkrut dan hidup dalam
kemiskinan. Sedih sekali. Mereka menghadang semua resiko demi terlihat
kaya, namun berakhir menjadi orang miskin yang sesungguhnya.

3. Mentalitas Kaya
Orang dengan mentalitas orang kaya mengubah income menjadi aset.
Dengan perhitungan yang cermat, aset itu dikelola dan berkembang,
sehingga kembali menghasilkan income. Dari income itu, proyeksi utamanya
adalah untuk dijadikan aset lagi. Begitu seterusnya. Uangnya akan terus
berkembang dari berbagai arah. Tak heran jika kemudian muncul istilah
“yang kaya makin kaya”.

Orang kaya fokus pada INVESTASI. Lantas, apakah ini berarti orang kaya tak
peduli pada gaya hidup high class? Banyak orang kaya yang menggunakan
kendaraan mahal, tinggal di rumah besar, dan menikmati hobi yang mahal.
Sah-sah saja. Toh gaya hidup mereka tidak melebihi kemampuannya, dan
apa yang kini dia nikmati adalah buah dari ketekunan yang panjang. Lebih
dari itu, mereka memang mampu membayarnya. Gaya hidupnya tidak akan
pernah mengganggu arus kasnya. Semua sudah dialokasikan dengan cermat.

Namun demikian, sejauh pengamatan saya, orang kaya (yang benar-benar
kaya) lebih cenderung bersahaja. Mereka menghargai uangnya, dan tak
ingin menghamburkannya hanya demi kesenangan sesaat. Lihatlah orang
orang terkaya di dunia. Mereka hidup sepantasnya. Selebihnya, sebagian
besar uang mereka dialokasikan untuk membantu orang lain. Sahabat saya,
Randall Book adalah pengusaha yang tinggal di Detroit, Michigan, Amerika
Serikat. Dia pemilik Westin Detroit Hotel, beberapa perusahaan yang bergerak
di bidang property, dan sebuah tambang minyak di Amerika Serikat. Suatu
ketika, saya mengundangnya ke Jakarta. Saya tertegun ketika mendapatinya
menggunakan tiket pesawat kelas ekonomi. Dengan enteng dia berkata,
“Wah sayang, selisihnya banyak. Kan bisa disumbangkan untuk orang yang
membutuhkan”.

Saya kagum. Seorang Randall Book, yang penghasilannya sangat tinggi,
tak segan menggunakan tiket penerbangan kelas ekonomi. Sebagian besar
hidupnya diabdikan untuk kepentingan sosial. Yayasan kanker yang dia
pimpin telah menolong ratusan ribu orang di Amerika.

Kini kita ke Karawang. Saya mengenal seorang dokter yang sukses. Ternyata,
orangtuanya adalah petani biasa. Hidup mereka bersahaja, layaknya petani
pada umumnya. Pasangan petani ini dikenal memiliki sawah yang sangat
luas di daerah Karawang. Saat kami bertemu, sang dokter menceritakan
bagaimana perjuangan ayah ibunya sejak dia masih kecil. Kesederhanaan dan
kedisiplinan selalu mewarnai hidup mereka. Dulu, sawah orang tuanya tidak
seberapa luas. Setiap kali panen, orang tunya selalu menyisihkan sebagian
hasilnya untuk ditabung. Ketika tabungan telah cukup, mereka membeli
sawah lagi. Begitulah hingga hari ini. Kini, setiap kali panen, petani sederhana
itu mampu membeli dua hingga tiga hektar sawah baru. Dari gaya hidupnya
yang sederhana dan displin itulah, kedua anaknya berhasil menjadi dokter.
Bahkan, berkat bantuan orang tuanya, sang dokter bisa mendirikan sebuah
rumah sakit yang cukup besar di Karawang.

Orang kaya sangat cermat membedakan antara asset (harta) dan liability
(kewajiban).

Orang bermental kaya cerdas dalam berinvestasi. Mereka tidak selalu orang
yang berpenghasilan besar atau keturunan orang kaya. Dengan tekun, sesedikit
apapun jumlahnya, mereka menginvestasikan waktu dan uangnya. Setiap
memperoleh penghasilan, selalu ada uang yang disisihkan untuk ditabung.
Dan ketika ada peluang investasi, maka tabungannya sudah siap digunakan.
Yang juga perlu ditiru, orang bermental kaya lebih memilih melakukan
investasi sendiri, karena investasi merupakan bagian dari kehidupannya. Dia
tak tergiur oleh bujukan makelar investasi yang menjanjikan untung besar
dalam sekejap. Dia konsisten menginvestasikan uangnya di bidang yang
mereka kuasai, yang menjadi kompetensinya. Petani yang bermental kaya
tadi, sangat cerdas memilih sawah sebagai cara investasinya.

Orang kaya sangat cermat membedakan antara asset (harta) dan liability
(kewajiban). Sesuatu yang bisa menghasilkan uang adalah aset, dan sesuatu
yang menghabiskan uang adalah liability. Sesederhana itu. Kendaraan tidak
akan dianggapnya asset jika hanya bisa menghabiskan uangnya. Dia baru
menyebutnya asset jika kendaraan itu menghasilkan uang.

“Orang kaya fokus pada investasi”

Keterangan Gambar:
Sesuatu yang bisa menghasilkan uang adalah aset, dan sesuatu yang
menghabiskan uang adalah liability.

Kaya dan miskin adalah pilihan
Jika saya menyebut kata “kaya” atau “miskin”, maka yang saya maksud bukanlah
sebuah keadaan yang sedang Anda alami, atau titik tempat Anda berada saat
ini. Kaya atau miskin adalah sebuah perjalanan. Lebih jelas lagi, kaya atau miskin
adalah sebuah mentalitas, sebuah pilihan. Apakah kita memilih untuk hidup
dengan mentalitas kaya atau sebaliknya. Kita sudah bahas di bagian sebelumnya.
Pilihan kita itulah yang akan menentukan, apakah kita akan hidup sebagai orang
kaya atau miskin. Tentu kita ingin memiliki mentalitas kaya, sehingga bisa hidup
dengan lebih banyak harta dan rasa lapang.

Semua orang pasti ingin kaya, namun hanya sedikit yang benar-benar
berkomitmen untuk membangun kekayaan. Ingin kaya tanpa membangun diri
untuk mempunyai mentalitas kaya adalah mimpi di siang bolong. Milikilah
impian namun jangan hanya bermimpi! Imajinasi bisa mendatangkan berbagai
ide kreatif, tapi hanya tindakan nyata yang mampu mewujudkannya. Tak akan
ada uang mengalir ke rekening Anda tanpa Anda bekerja, dan mengelola
penghasilan Anda dengan jitu.

Kita sudah belajar dari berbagai kasus di atas, bahwa penghasilan besar dan
uang banyak tidak serta merta membuat kita benar-benar kaya. Anda juga
akan dengan mudah menemukan orang yang awalnya tampak kaya, namun
pada akhirnya terjerat utang dan harus bersembunyi dari kejaran debt collector.
Orang seperti ini hanya memiliki kehidupan semu, dan tak akan bertahan lama.

Michael Jackson, misalnya. Raja Pop ini mengawali karier profesionalnya di usia
10 tahun. Di puncak ketenarannya, MJ pernah dibayar lebih dari tiga ratus
miliar rupiah sekali manggung. Berapa kali dia pentas dalam setahun? Tak
terhitung! Album-albumnya laris manis di pasaran. Dia hidup dalam gelimang
kemewahan yang selalu jadi sorotan media. Dan di akhir hayatnya, MJ dikabarkan
meninggalkan utang lebih dari U$ 500 juta, atau lebih dari Rp 5 triliun rupiah!

Kita juga bisa berguru kepada orang-orang yang tak punya banyak uang,
namun berkat ketekunan dan mentalitas kaya, dia bisa membangun kekayaan
yang sesungguhnya. Pengalaman pahit seseorang yang pernah tergelincir juga
bisa kita cermati. Dengan cara pandang yang benar dan ketekunan, banyak
yang berhasil bangkit kembali dan hidup kaya.

Semua orang pasti ingin kaya, namun hanya sedikit yang benar-benar
berkomitmen untuk membangun kekayaan.

Donald Trump sempat terperosok ke palung utang. Tapi bagi orang bermental
kaya, sedalam apapun dia jatuh, pasti bisa segera bangkit. Trump mewarisi
bisnis dari ayahnya ketika tahun 1970-an, dan mengembangkannya menjadi
jauh lebih besar. Tahun 1990, ketika dunia dilanda resesi, bisnisnya ikut
terlibas. Satu demi satu perusahaannya menghadapi kesulitan keuangan.
Kewajibannya untuk membayar utang di bank mulai tersendat. Utang baru yang
ditandatanganinya tak banyak membantu. Semua usaha Donald Trump mulai
dari perhotelan, kontraktor, kasino dan yang lain nyaris bangkrut. Pengusaha ini
harus menanggung utang sebesar US$ 9 miliar!

Bagi pengusaha sekaliber Donald Trump sekalipun, bisnis yang nyaris gulung
tikar dan utang menggunung tetap masalah pelik. Meskipun begitu, dia tetap
merasa bahwa dirinya jauh lebih besar dari masalah yang dia hadapi. Karenanya,
walaupun dalam kondisi resesi, Donald Trump terus berusaha bangkit dan
mencari peluang baru. Dan seperti yang Anda saksikan sekarang, dia berhasil!

Hiduplah semurah mungkin!
Sekarang, mari kita telisik lebih lanjut, apa lagi yang disebut dengan mentalitas
orang kaya. Di bagian sebelumnya, kita sudah belajar bahwa orang yang
bermental kaya selalu memperbesar wadah, mendahulukan yang lebih penting,
meneguhkan komitmen, dan fokus.

Dari kisah perih dan kisah sukses orang-orang yang memiliki pandangan
berbeda tentang gaya hidup, kita bisa mengajukan sebuah pertanyaan penting :
seberapa murahkah hidup kita?

Seseorang yang berpenghasilan besar bisa dengan mudah jatuh
miskin jika gaya hidupnya menyedot sebagian besar penghasilannya.
Sebaliknya, orang yang berpenghasilan kecil punya peluang besar
untuk kaya jika dia bijak menahan dirinya dari hasrat untuk terlihat
kaya. Hidup semurah mungkin, itulah kuncinya. Hiduplah sederhana.

Mari kita belajar, bagaimana cara meningkatkan sistem pengendalian diri dalam
kehidupan, sekaligus menciptakan simplicity. Sebagian besar orang paham
bagaimana cara mencari income. Namun kita sudah membuktikan bahwa
income yang tinggi tidak menjamin seseorang menjadi kaya. Jadi, yang sering
terjadi bukanlah kesulitan memperoleh penghasilan, tapi kesulitan menjaga
uang agar tidak hilang atau menguap.

Banyak contoh yang kita saksikan, yang dekat ataupun yang jauh, bahwa
membiayai gaya hidup hanya akan berujung bencana. Orang bijak belajar
dari pengalaman orang lain, dan tindakan bijaknya akan menjadi
contoh bagi orang yang lain lagi.

Di bagian keeping money dan saving money inilah banyak orang gagal
melakukannya. Yang sering membuat seseorang selalu tergoda untuk
menghabiskan uangnya adalah tidak adanya disiplin dalam pengendalian diri,
dan keahlian untuk menjaga uang. Saya ulangi, menjaga uang. Istilah ini perlu
saya sampaikan karena makna menabung sudah banyak disalahpahami. Orang
menabung dengan tujuan sekedar memindahkan uang dari laci atau dompet ke
rekening bank. Sesudahnya, pola pengeluarannya tak ada bedanya dengan saat
uang itu berupa tunai di tangan.

Jadi keeping money menuntut keahlian dan disiplin yang kuat. Pengendalian
diri menjadi benteng utama. Sebesar apapun income seseorang, jika dia gagal
meningkatkan pengendaliannya, maka dia tak akan pernah kaya. Dia akan
menjadi pemangsa utama penghasilannya sendiri.
Lantas, bagaimana menghadangnya? Langkah pertama adalah menemukan
biang keladinya. Saya menemukan dua pemangsa besar penghasilan manusia.

Satu di antaranya sudah kita bahas contoh-contohnya, yakni gaya hidup atau
lifestyle. Yang kedua adalah kebocoran atau leak. Keduanya tercatat dalam
sejarah sebagai penyebab orang jatuh miskin. Keduanya kadang berkelindan,
kadang berdiri terpisah. Dalam keadaan bagaimanapun, keduanya tetap
mematikan!

Gaya Hidup
Anda ingat Myke Tyson? Petinju fenomenal ini punya penghasilan melimpah
dari berlaga di ring tinju dan berperan sebagai bintang iklan. Sayangnya,
penghasilan yang besar tidak mengantarkannya menjadi orang kaya. Bangga
namanya dielu-elukan sebagai petinju hebat di atas ring, Mike Tyson merasa
harus tampil hebat pula di luar ring. Hidup glamour dia jalani. Teman-temannya
dari kalangan jetset, mobil mewahnya gonta-ganti. Tak puas dengan itu, Tyson
juga menjajal meja judi, termasuk berbagai pesta mahal dengan beberapa
wanita teman kencannya.

Akibatnya membuat prihatin. Penghasilan Tyson yang ditaksir mencapai 300
juta dolar AS, habis dalam waktu sekejap. Si Leher Beton itu kini hidup nelangsa
dan terjebak dalam utang US$ 5 juta lebih.

Mungkin Anda kerap heran melihat beberapa selebriti nasional kita. Mereka
selalu tampil di televisi dengan gaya hidup mewah, pakaian serba mahal, mobil
terbaru, tinggal di apartemen mewah, dan hobi mahal. Pada akhirnya, tak sedikit
yang harus berurusan dengan polisi. Ada yang dilaporkan menipu rekan bisnis,
ada juga yang dianggap mangkir dari cicilan utang. Tak sedikit yang nekat
menjadi pemakai atau pengedar narkoba demi gaya hidupnya.

Income besar yang mereka peroleh tak pernah bisa mereka simpan, apalagi diubah
menjadi investasi yang bisa menghasilkan income lagi. Mereka berpenghasilan
melimpah, tapi bermental miskin. Mereka sama saja dengan para petani dan
pengusaha tembakau di pegunungan. Begitu panen dan dapat uang, mobil
dan barang elektronik baru pasti langsung menghiasi rumah mereka. Mobil itu
mereka pakai untuk mencari rumput dan dibawa pergi ke sawah. Kulkas pun
untuk menyimpan baju. Mereka membeli bukan karena kebutuhan, tapi karena
keinginan dianggap kaya.

Melalui aktivitas, penampilan, pilihan hobi, dan cara bicara, orang-orang
bermental miskin ini memoles citra dirinya bisa masuk ke golongan orang
kaya. Semua jelas semu. Di balik perhatian dan kekaguman orang lain
kepadanya, dia sendiri menderita gara-gara gaya hidupnya.

Bukan hanya pengusaha dan selebriti. Gaya hidup yang salah juga dianut sebagian
karyawan dan pegawai negeri sipil di negeri kita. Menjelang Lebaran, mereka
menerima Tunjangan Hari Raya (THR) yang senilai dengan satu kali gaji. Karena
mentalitas miskin mereka yang selalu ingin SPENDING, daftar belanja sudah di
tangan, jauh sebelum THR dibagikan. Tak sedikit yang langsung membeli aneka
barang secara kredit. Toh nanti ada THR. Di bank atau koperasi perusahaan,
banyak Surat Keputusan (SK) pegawai yang digadaikan demi renovasi rumah
atau membeli mobil baru. Akibatnya, ketika gaji atau THR mereka turun, tak
ada yang bisa dinikmati. Aneka potongan cicilan sudah menanti, dan biasanya,
melebihi jumlah THR atau bonus yang diterima.

Sementara itu, ada juga pengusaha-pengusaha yang memilih tampil bersahaja.
Meski usaha mereka berkembang, mobil-mobil tua tetap mereka pakai kemana mana.
Walau uang mereka lebih dari cukup untuk cicilan mobil baru, mereka tak
tergoda. Pengusaha-pengusaha dari etnis China, misalnya, tak peduli dengan
anggapan orang tentang gaya hidup mereka. Tapi tanpa berkoar, mereka
mampu menyekolahkan anak-anak ke luar negeri dengan biaya mahal.

Tak sedikit orang kaya yang hobi main golf, dan punya lebih dari satu mobil
mercy bahkan ferrari. Bisa jadi itu juga gaya hidup mereka. Bedanya, mereka
melakukannya dengan perhitungan matang. Tak akan ada kesulitan finansial
yang mengancam mereka dua tiga tahun mendatang. Itu pilihan gaya hidup
mereka, dan mereka mampu membayarnya dari anggaran yang sudah pasti.

Jadi, jika kita tak benar-benar mampu membiayai gaya hidup yang mahal, jangan
coba-coba mempertaruhkan hidup demi gengsi. Kendalikan diri, karena gengsi
tak akan selesai dibayar dengan satu kali transaksi. Selalu ada godaan untuk
menurutinya, lagi dan lagi, walaupun kita tahu bahwa gengsi adalah sesuatu yang
hanya terlihat di permukaan. Padahal, substansi dari meningkatkan pengendalian
diri adalah bagaimana menjalani gaya hidup yang semurah mungkin. Semurah
mungkin yang saya maksud adalah murah untuk diri kita. Jelas, kita tak bisa
menetapkan patokan seberapa murah ini dengan menggunakan ukuran orang lain.

Seseorang yang mengikuti gaya hidupnya cenderung tidak memperhatikan
uangnya. Ingat! Uang ibarat pasangan kita, kalau tidak kita perhatikan dia
akan meninggalkan kita.

Ayo kita mulai koreksi diri. Kendalikan hidup Anda, buatlah hidup Anda semurah
mungkin:
1. Lihatlah kebiasaan dan hobi Anda sehari-hari
2. Catatlah setiap pengeluaran Anda dan review setiap saat
3. Buatlah anggaran kebutuhan Anda
4. Jangan pernah belanjakan uang yang belum Anda terima
Anda pasti bisa, karena sebenarnya kendali ada di tangan Anda. Gaya hidup itu
pilihan, dan Anda pasti ingin pilihan yang membawa hasil terbaik.

Kebocoran
Setelah gaya hidup, biang keladi kedua yang harus memperoleh perhatian
serius adalah kebocoran. You can’t be wealth before you stop the leaks. Anda
tak akan bisa kaya sebelum menghentikan kebocoran. Yang saya maksud
dengan kebocoran adalah hilangnya potensi pemasukan (income) tanpa ada
manfaatnya. Jika Anda ingin membangun kekayaan, maka segala kebocoran
harus dihentikan.

Suatu hari, Anda membeli tabung gas elpiji untuk keperluan memasak. Setelah
dipasang di kompor, ternyata tanpa Anda sadari, selang gas tersebut bocor.
Akibatnya, tidak semua gas yang ada di dalam tabung mengalir ke kompor.
Banyak gas yang keluar sia-sia. Anda selalu bingung dan mengeluh, mengapa gas
cepat habis. Anda tak ingin kejadian ini menggerogoti kas dapur Anda, bahkan
memicu bahaya kebakaran yang dahsyat. Setelah meneliti, Anda menemukan
bahwa selang yang bocor itulah penyebabnya. Jadi, tak ada langkah yang lebih
bijak daripada menggantinya dengan selang yang lebih bagus. Atau jika tak
punya uang cukup, Anda bisa menambalnya dan tetap mengusahakan selang
pengganti.

Dalam kehidupan, banyak orang yang kehilangan uang namun mereka tidak
merasakannya. Banyak juga orang yang terus merasa uangnya berkurang,
namun menganggapnya hal wajar. Di sisi lain, banyak yang sadar dan merasa
keuangannya bocor, tapi tak mampu berbuat apa-apa. Saya berharap, Anda
bukan salah satunya. Banyak sekali kebocoran yang mengacam uang Anda. Dan
kebocoran ini menghalangi Anda dalam membangun kekayaan yang sehat.

Ketika Anda mengeluarkan uang, dan Anda tidak merasakan manfaatnya;
uang itu menguap begitu saja, maka Anda mengalami kebocoran. Berikut ini
beberapa contohnya :

a. Kartu Kredit
Sepuluh tahun terakhir ini terjadi lonjakan penggunaan karti kredit di
Indonesia. Fenomena itu mengiringi maraknya bank yang meluncurkan
Automatic Teller Machine (ATM) di berbagai penjuru. Awalnya, penggunaan
ATM dan kartu kredit hanya difasilitasi di kota-kota besar. Kini, Anda bisa
menemukannya nyaris di manapun.

Kemudahan yang ditawarkan oleh bank ini disambut antusias oleh warga
masyarakat, dan menjadi gaya hidup baru. Gaya hidup kelas tinggi dan
modern. Akhirnya, kita jadi merasa tidak bisa leluasa bergerak jika tidak
memegang ATM atau kartu kredit. Syarat ringan yang ditawarkan oleh bank
pemberi kartu kredit juga membuat banyak orang tergiur. Konyolnya, mereka
menganggap kartu kredit sebagai sumber penghasilan baru. Tak cukup satu,
belasan kartu kredit dari berbagai bank mereka lahap semua.
Kartu kredit, sumber kebocoran yang jarang disadari


Kartu kredit ini penemuan dilematis. Bagi bangsa yang kaya, yang warganya
bermental kaya, kartu kredit tak akan mendatangkan bahaya apapun.
Sebaliknya, bagi bangsa yang miskin, yang warganya bermental miskin, kartu
kredit adalah pisau tajam di tangan bayi.

Kartu kredit adalah jenis utang yang didesain untuk tidak terbayar,
karena di dalamnya ada yang disebut dengan compound interest atau
bunga berbunga. Di IIBF, kartu kredit termasuk dalam kategori utang
buruk (bad bebt) yang harus segera ditinggalkan, karena
akan membuat kita jatuh miskin

Transaksi perbankan dengan menggunakan kartu diperkenalkan pada tahun
1924 di Amerika Serikat. Tahun 1950, Dinners Club dan American Express
menjadi kartu berbahan plastik pertama. Sembilan belas tahun kemudian,
ATM pertama kali muncul di Inggris. Tak lama sesudahnya, ide tentang kartu
kredit mulai menyebar ke seluruh dunia, dan tahun 1995, lebih dari 90 persen
transaksi perbankan di Amerika dilakukan secara elektronik.

Apakah artinya? Catatan sejarah menunjukkan bahwa sebelum 1950, belum
ada kartu ATM apalagi kartu kredit. Jadi, terlalu mengada-ada jika ada
orang yang berkata tak bisa hidup tanpa kartu kredit. Toh peradaban sudah
ada sebelum kartu utang itu muncul. Pengusaha kaya juga sudah banyak
menorehkan sejarah, tanpa mereka tahu bahwa akan ada masa di mana kartu
kredit memperbudak begitu banyak manusia.

Untuk menarik minat nasabah, lembaga yang mengeluarkan kartu kredit
menjanjikan berbagai macam kemudahan. Salah satunya adalah tidak adanya
bunga bagi nasabah yang bisa melunasi tagihan kurang dari satu bulan atau
sebelum jatuh tempo. Kebijakan ini tentu hasil riset yang memadai. Pemberi
kredit paham benar dengan mentalitas masyarakat pada umumnya. Di antara
ribuan nasabah, hanya sedikit orang yang akan membayar penuh sebelum
jatuh tempo. Selebihnya akan melakukan minimum payment atau membayar
berdasar batas minimal. Jika dihitung, dengan bunga 3% per bulan, seseorang
yang terbiasa membayar dengan minimum payment setiap bulan, maka
hutang kartu kreditnya akan lunas dalam waktu 44 tahun!

Dengan demikian, kita jelas melihat bahwa kartu kredit merupakan
pohon uang bagi lembaga perbankan yang mengeluarkannya. Dengan
memanfaatkan mentalitas konsumtif para nasabahnya, berbagai inovasi
yang memikat terus diluncurkan. Salah satunya adalah tentang konsep kredit
limit atau pagu atau plafon, yaitu batas maksimal kredit yang bisa digunakan
nasabah. Bank selalu mendorong nasabah melakukan penggunaan maksimal,
sehingga keuntungan bank juga maksimal.

Sementara bagi pemegang kartu kredit, pagu atau kredit limit itu dimaknai
sebagai batas penggunaan maksimal atau target belanja maksimal. Jika
kredit limit sebuah kartu adalah Rp 50 juta, maka sebagian orang berpikir
bisa berbelanja hingga senilai Rp 50 juta. Intinya, kredit limit bukan dimaknai
sebagai peringatan, melainkan sebagai target yang harus dihabiskan. SALAH
KAPRAH!

Kartu kredit ini penemuan dilematis. Bagi bangsa yang kaya, yang
warganya bermental kaya, kartu kredit tak akan mendatangkan bahaya
apapun. Sebaliknya, bagi bangsa yang miskin, yang warganya
bermental miskin, kartu kredit adalah pisau tajam di tangan bayi.

Jika Anda tertib membayar tagihan, atau sering bertransaksi dengan plafon
maksimal, Anda akan dihubungi oleh pihak penerbit kartu kredit. Mereka
menyatakan bahwa Anda memperoleh “kehormatan” berupa kenaikan
plafon. Manusia bermental miskin yang selalu berhasrat spending akan
segera melahapnya.

Sekarang, coba kita amati. Saat ini siapapun bisa punya kartu kredit. Ibu
rumah tangga, mahasiswa, bahkan pegawai bergaji kecilpun bisa memilikinya.
Bagaimana tidak, syarat memperolehnya cukup dengan fotokopi Kartu
Tanda Penduduk. Dan para petugas pemasaran kartu kredit demikian gencar
mengejar nasabah di berbagai tempat.

Berikutnya, renungkan. Jika kondisi ekonomi Anda pas-pasan tapi memiliki
kartu kredit, maka Anda perlu ekstra hati-hati. Coba cermati catatan di bawah
ini. Apakah Anda sedang berdiri di sisi jurang jebakan utang kartu kredit
yang gelap dan pengap, yang mendatangkan malapetaka bukan hanya bagi
Anda tapi juga keluarga dan teman Anda :
1. Anda tidak membayar tagihan tepat pada waktu. Keterlambatan berarti
denda. Semakin terlambat, denda semakin banyak.
2. Anda terlambat membayar tagihan hingga satu minggu. Anda akan
segera ditelepon petugas kartu kredit. Jika Anda kemudian membayar,
maka Anda akan dikenai Rp 25 hingga Rp 100 ribu, ditambah bunga
harian.
3. Anda terlambat membayar sampai dengan tanggal cetak kartu kredit
berikutnya. Bersiaplah! Bunga sampai dengan 4% setiap bulan akan
menghantui Anda. Tak perlu mahir menghitung. Angka itu berarti 48%
setahun. Inilah awal malapetaka.
4. Anda terlambat lebih dari satu bulan. Anda akan berkenalan dengan
debt collector atau juru tagih. Bukan hanya Anda, keluarga Anda juga
akan ditelepon untuk membicarakan tagihan kartu kredit Anda. Mulailah
keluarga Anda resah, karena ada penagih yang meneror dengan ucapan ucapan
tidak sopan.
5. Anda belum membayar juga setelah ditelepon. Rumah Anda akan
didatangi oleh debt collector yang akan menekan Anda dan keluarga.
Mereka tak segan mempermalukan atau mengancam Anda di hadapan
tetangga dan teman, agar Anda mau membayar.

Salah satu kebocoran yang paling sulit ditutup adalah kebocoran yang
disebabkan oleh kartu kredit

Sebaliknya, jika pembayaran Anda tertib dan lancar, maka kemungkian besar:
1. Plafon kredit Anda dinaikkan, sehingga belanja konsumsi Anda cenderung
meningkat juga.
2. Anda memperoleh tawaran pinjaman lunak, dengan bunga 1 atau 2%
fixed. Tawaran ini sangat menggoda, terutama saat Anda perlu uang.
Manusia bermental miskin selalu ingin uang untuk dibelanjakan, tak
peduli dari manapun asalnya.
3. Anda akan ditawari kartu kredit untuk pasangan Anda. Jika Anda mahir
mengendalikan diri, belum tentu pasangan Anda bisa. Jika bank tak
bisa mengambil keuntungan dari Anda, maka mereka akan mengincar
pasangan Anda.
4. Bank lain akan gencar menawarkan kredit lain dengan berbagai iming iming.
Tanpa iuran tahunan, tanpa bunga, tanpa proses berbelit, dan
tanpa-tanpa yang lain.
5. Anda akan dihubungi petugas asuransi yang menawarkan cara
pembayaran dengan mendebit kartu kredit Anda.
6. Anda akan dilimpahi berbagai hadiah karena poin belanja yang tinggi,
dan Anda akan cenderung ingin terus menambah poin belanja.

Bagaimana jika Anda memang perlu kartu kredit untuk melakukan transaksi
atau pembayaran tertentu? Miliki cukup satu saja, dan lunasi tagihannya
sebelum jatuh tempo. Kendalikan diri Anda. Jadikan kartu kredit sebagai
alat bayar, bukan alat utang. Bangga dengan kartu kredit yang menyesaki
dompet? Sudah bukan zamannya.

b. Hutang Konsumtif
Jika ingin kaya, kuasailah ilmu tentang bisnis. Jika tak ingin miskin, kuasailah
ilmu tentang utang. Banyak orang yang salah kaprah tentang utang. Mereka
bangga dengan utang yang banyak. Menurut mereka, semakin banyak bank
yang mau memberikan pinjaman berarti mereka sukses menjadi orang
terpercaya.
Memang, tak ada yang aneh dengan berutang. Banyak orang sukses yang
membangun kekayaannya dengan berutang. Masalahnya, utang orang
miskin dan utang orang kaya itu jaun berbeda.
• Orang kaya berutang untuk investasi, orang miskin berutang untuk
konsumsi
• Orang kaya sangat cermat dengan biaya atas utangnya, orang miskin
tak peduli. Berapapun biayanya akan dibayar, yang penting bisa mencicil
setiap bulan
• Orang kaya tahu caranya melunasi utang sejak awal, orang miskin
berpikir : yang penting utang dulu, cara bayarnya dipikirkan kemudian
• Orang kaya bisa keluar dari utangnya yang banyak itu, orang miskin kian
terjerat; utangnya yang semula kecil jadi semakin banyak

Kita hidup di hadapan sedemikian banyak lembaga keuangan yang selalu
menawarkan pinjaman. Mereka lihai sekali membidik mangsa yang tepat,
dan bergerak sangat agresif, penuh inovasi. Iklan penuh rayuan tersebar di
mana-mana. Produk kapitalis ini menggoda Anda dari berbagai sisi, dengan
berbagai teknik. Lantas, sejauh mana Anda bisa mengendalikan diri? Sekuat
apa komitmen Anda untuk hidup semurah mungkin? Sekuat apa komitmen
Anda kepada ketentuan agama bahwa riba itu haram?

Utang konsumtif paling mudah digunakan, tapi paling sulit dikembalikan.
Tak mungkin mengembalikan apa yang sudah kita pakai dan makan

Ingat. Semua orang, termasuk lembaga keuangan yang meminjamkan
uangnya, tentu berharap uang mereka kembali. Apalagi jika orang atau
lembaga itu punya inisiatif agar uangnya dipinjam, tentu mereka akan
berjuang keras agar mereka kembali, lengkap dengan bunga dan dendanya

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, semakin mudah syarat
sebuah pinjaman, semakin besar pula biaya yang harus ditanggung
peminjam. Semakin ringan syarat yang ditetapkan lembaga perbankan atau
rentenir, maka semakin bengislah cara mereka menagih.
Jadi, hanya dengan gaya hidup murah dan kendali diri sajalah kita bisa
tenang berhadapan dengan kelicikan kaum rentenir. Kita tak akan terjebak
dalam lingkaran haram yang mereka ciptakan, yang akan menodai hidup
kita, dan merusak keluarga kita.

Tips menutup utang dan kebocoran
1. Memotong pengeluaran
• Identifikasi pengeluaran yang bisa dipotong, dan potong saat ini juga.
• Buatlah anggaran sehari-hari
• Batasi penggunaan kartu kredit, miliki satu saja. Gunakan kartu kredit
sebagai alat bayar, bukan alat utang

Banyak orang yang jatuh miskin justru setelah penghasilannya
meningkat. Kehidupannya juga semakin rumit, utangnya
bertambah banyak.

2. Lunasi hutang konsumtif dengan konsep Snowballing
Snowballing adalah sebuah konsep ajaib yang sangat mungkin untuk kita
lakukan guna mempercepat pelunasan utang – utang konsumtif. Hanya
dengan anggaran 10% lebih tinggi dari anggaran yang biasa kita keluarkan
setiap bulannya untuk membayar cicilan, maka utang kita akan lunas dalam
waktu jauh lebih cepat dari yang seharusnya, bahkan dengan total uang yang
jauh lebih kecil dari yang seharusnya kita keluarkan untuk melunasi utang utang
tersebut.

Satu hal yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin melakukan metode
pelunasan cepat ini adalah komitmen pada diri sendiri, tekad dan disiplin
dalam menjalankannya.

Seseorang dengan banyak kartu kredit, yang memiliki sejumlah kredit dari
mulai elektronik, sepeda motor, atau mobil, bahkan cicilan untuk rumah
tinggalnya yang biasanya sampai 15 tahun, dengan menjalankan snowbowling
akan lunas dalam waktu minimal 6 tahun lebih cepat dari seharusnya, dengan
jumlah uang yang bisa dihemat jumlahnya juga sangat besar.

3. Kenali pengeluaran yang tidak disadari
Anda masih ingat selang gas yang bocor? Banyak orang kehilangan uang
untuk sesuatu yang tidak dia ketahui. Alih-alih memeriksa selang dan
komponen yang lain, dia bergegas membeli kompor baru. Tindakan ini
bukan menutup kebocoran, justru membuat lubang yang lebih besar. Gas
tetap bocor, uang keluar sia-sia karena membeli kompor di saat dia belum
membutuhkan yang baru.

Jika Anda hendak bepergian dengan pesawat, di bandara Soekarno-Hatta,
misalnya, Anda akan dihadang oleh sejumlah perusahaan asuransi. Dengan
jurus-jurus maut, mereka merayu calon penumpang agar membeli asuransi
tambahan. Jika termakan bujukan, berarti Anda termasuk orang yang
kehilangan uang untuk sesuatu yang tidak Anda ketahui. Mengapa? Karena
jika Anda mengalami suatu musibah, dan sudah mendapatkan asurasi dari
perusahaan tertentu, maka asuransi sejenis dari perusahaan lain tidak akan
berlaku. Jadi, asuransi tambahan itu tidak bermanfaat. Anehnya, banyak juga
orang yang bersedia membeli.

Jika Anda sering menggunakan kartu kredit hingga over limit, maka Anda
terkena denda. Anda mungkin tidak menyadari bahwa denda over limit itu
cukup besar. Jadi, masihkah Anda santai melanggar plafon kredit? Atau, yang
paling sering terjadi, Anda keliling swalayan sambil mendorong keranjang.
Dengan enteng Anda masukkan berbagai macam barang. Semua nampak
penting dan harus dibeli. Setelah sampai di rumah, sebagian barang yang
Anda beli ternyata tidak begitu penting, atau tidak begitu mendesak.

Di level perusahaan, kita bisa belajar dari Muhammad Nadjikh, pengusaha
sukses yang membangun bisnisnya dari nol. Dia adalah pendiri PT Kelola
Mina Laut, perusahaan yang bergerak di bidang ekspor perikanan. Di saat
perusahaannya berkembang, Nadjikh mengangkat seorang konsultan
bergaji tinggi. Namun setelah beberapa saat, Nadjikh merasa sang konsultan
justru lebih banyak belajar kepadanya. Tanpa menunggu lama, Nadjikh
menghentikan jasa konsultan itu.

Saya melihat banyak perusahaan yang menggunakan jasa konsultan. Padahal,
tak selamanya konsultan permanen itu diperlukan. Tetapi, demi ingin terlihat
sebagai perusahaan besar dan bonafid, mereka tutup mata dan berani bayar
mahal, untuk sesuatu yang tak perlu.

4. Investasi pada bidang yang tidak dikuasai
Banyak orang kehilangan uang karena menanamkan uang pada bisnis yang
tidak mereka kuasai. Dengan impian memperoleh untung besar dalam waktu
cepat, mereka nekat. Ketika nasib tragis menimpa investasinya—uang hilang
utang datang—penyesalan tak akan mengembalikan uangnya. Banyak orang
yang mudah tergiur dengan bisnis investasi yang menguntungkan, namun
mereka akhirnya bernasib tragis karena kehilangan uangnya.

Sekitar tahun 1994, di Yogyakarta booming bisnis sarang burung walet.
Burung unik ini seperti magnet baru yang membuat orang bermimpi bisa
kaya mendadak. Pengelola bisnis walet menjanjikan keuntungan 20-30
persen dari uang yang diinvestasikan. Sungguh mengggoda.

“Investor” dari kalangan mahasiswa, dosen, masyarakat umum, hingga
pejabat pemerintahan beramai-ramai setor uang. Kebanyakan dari mereka
bermental miskin, yang sangat berhasrat untuk cepat kaya. Mereka tak mau
tahu bahwa kekayaan itu harus dibangun dengan proses dan cara yang
benar. Tak pernah instan. Sayangnya, demi kekayaan instan yang semu itu,
mereka merelakan uang apapun, termasuk hasil utang.

Bumi menyediakan cukup untuk kebutuhan manusia,tapi tidak pernah cukup untuk kerakusan manusia~ Mahatma Gandhi ~

Keuntungan di bulan pertama mereka rayakan dengan sukacita. Mentalitas
miskin sudah tentu mendorong mereka untuk segera berbelanja. Bulan
kedua ketiga masih lancar, uang masih mengalir. Bulan berikutnya, saat gaya
hidup mulai menanjak, pencairan keuntungan justru mulai tersendat. 12
bulan kemudian, investasi instan itu sudah macet. Padahal, saat itu uang dari
masyarakat terus mengalir, termasuk dari para petani yang sampai jual sawah
demi bisnis sarang wallet.

Lain lagi dengan skadal PT Qurnia Subur Alam Raya atau QSAR yang berpusat
di Jawa Barat. Mereka berhasil menguras dana 6.800 investor dengan total
uang senilai Rp 500 miliar, kabarnya untuk investasi agrobisnis. Keuntungan
pasti 15-25% yang ditawarkan memang menyilaukan. Bank saja tak akan bisa
memberikan keuntungan lebih dari 12%. Kasus walet terulang. Bulan-bulan
pertama keuntungan terus mengalir, bulan berikutnya tersendat dan macet.
Investor tidak pernah tahu bahwa bunga yang mereka terima itu berasal dari
uang investor yang disetor sesudah mereka. Korban juga lagi-lagi dari kelas
ekonomi bawah hingga pejabat pemerintahan.

Bukan hanya Indonesia. Negara yang dikenal super kaya seperti Amerika
pun terkena wabah ngebet kaya. Tragisnya, korbannya adalah orang-orang
kaya kelas dunia dan perusahaan global yang mendunia. Pelakunya adalah
Bernard Madoff, pendiri perusahaan sekuritas Bernard L Madoff Investment
Securities LLC. Korban Madoff bukan saja pengusaha AS tetapi lintas negara.
Total dana yang berhasil dihimpun Madoff dalam investasi bodong tersebut
mencapai lebih dari 50 miliar dolar AS atau sekitar Rp 550 triliun!

Penggalangan dana investasi ala Madoff itu dikenal sebagai skema Ponzi.
Keuntungan yang dibayarkan kepada investor berasal dari uang investor baru.
Dengan cara inilah Charles Ponzi mengguncang Amerika pada era 1920-an,
dan namanya diabadikan sebagai skema kejahatan investasi yang masih saja
menelan korban hingga saat ini. Jadi, bisnis walet, QSAR dan Madoff, adalah
penipuan berkedok investasi. Dan sayangnya, selalu saja ada orang yang
bersedia menjadi korbannya.

Anda tentu tak ingin mengalami hal yang sama. Karenanya, perlakukan uang
Anda dengan baik. Pilihlah investasi di bisnis yang benar-benar Anda kuasai.
Jika Anda memutuskan untuk merambah bidang lain, maka investasikan dulu
waktu Anda untuk mempelajarinya dengan seksama.
Ingat petani kaya dari Karawang? Mungkin tanpa tahu istilah investasi
sekalipun, dia memilih menanamkan uangnya untuk membeli sawah. Petani
ini bermental kaya, dan melakukan investasi dengan pengetahuan dan naluri
orang kaya. Orang yang menghargai uangnya melalui investasi di bidang
yang dikuasainya. Bagaimana dengan Anda?

Seseorang yang tidak menyadari jati dirinya tak akan jadi siapa-siapa.


Baca Juga :