Saturday, June 17, 2017

Inilah Strategi membangun Kekayaan Tanpa Riba versi Orang Pekalongan

Asslalamualaikum wr.wb

Dipostingan kali ini saya akan sharing isi buku yang menurut saya sangat powerful yaitu Strategi membangun kekayaan tanpa Riba yang ditulis oleh seorang Miliarder asal Pekalongan yang bernama Heppy Trenggono. Isi buku ini bukan cara cepat kaya atau kaya mendadak tanpa usaha, tapi lebih ke bagaimana mebangun mindset kita supaya menjadi benar-benar kaya. Pak Heppy Trenggono sendiri adalah seorang Pengusaha yang awalnya bergerak di bidang alat-alat berat yang sebelumnya mengalami kebangkrutan sampai punya utang 62 Miliar dan berhasil bangkit lagi setelah memperbaiki cara pandang berpikirnya tentang hutang, bisnis dan intisari membangun kekayaan yang sebenarnya. Kalo Anda membaca buku ini sampai selesai Insha Allah sangat bermanfaat bagi diri Anda yang akan memberikan pencerahan cara berpikir Orang kaya yang jarang dimiliki orang kebanyakan. Bacalah bab-bab dibawah ini dari awal sampai selesai jika Anda ingin benar-benar tahu bagaimana cara orang kaya berpikir sehingga benar-benar menjadi kaya dan tanpa Riba.

TERNYATA KAYA DAN MISKIN ITU....

Sebagai karyawan, Pak Herman bisa menghidupi keluarganya. Dengan niat
menambah penghasilan, dia mulai menitipkan brownies kering buatan istrinya di
berbagai warung yang dilewatinya setiap ke kantor. Ternyata dagangannya laris manis. 
Pelanggan mulai percaya, bahkan rutin memesan berbagai jenis kue. Dalam waktu singkat, 
Pak Herman merasakan asyiknya punya usaha sendiri, dan berniat mengembangkannya dengan serius.Pekerjaan sebagai karyawan dia tinggalkan, dan terjun bebas menekuni bisnis
kuliner. 

Karena tak lagi terikat jam kantor, jangkauan pemasaran produknya kian luas,
dan pelanggan besar mulai muncul. Penghasilan tambahan yang dia harapkan
datang melebihi perkiraan. Setahun berikutnya, Pak Herman sudah menjadi
pemasok kue kering di berbagai pusat oleh-oleh.

Uang di tangan dan penghasilan lebih tinggi, membuat pengusaha kue kita ini
mulai berubah. Dia merasa perlu mengubah gaya hidupnya. Mobil tua yang
biasa menemaninya memasok kue digantikan oleh mobil baru. “Kan cicilannya
bisa dibayar dari keuntungan”, pikirnya. Belanja konsumsi keluarganya ikut
meningkat tajam. Rencana mengecat rumah berubah jadi renovasi. Dengan
penampilan barunya, dia merasa lebih terhormat dan percaya diri.

Sayangnya, gaya hidupnya itu menuntut ongkos yang tidak sedikit. Kas usaha
kulinernya mulai diganggu oleh kebutuhan konsumsinya. Aset yang seharusnya
berkembang jadi terkikis jadi telepon genggam baru, liburan setiap akhir pekan,
atau ongkos cuci mobil. Modal yang seharusnya cukup jadi kurang. Di saat yang
sama, sulit untuk kembali hidup seadanya setelah tampil gaya.

Dalam kondisi seperti itu, Pak Herman merasa perlu mencari tambahan modal
untuk usahanya. Bank dengan jeli menawarkan berbagai macam kredit yang
segera disambutnya dengan sukacita. Jumlah kredit yang besar membuat
keinginannya memiliki pabrik kue yang bergengsi terwujud. Anda bisa tebak,
gaya hidup borjuisnya juga kian jadi. Bagai diaminkan, limit kartu kreditnya
terus naik tanpa dia ajukan.

Sesekali, Pak Herman merasakan bahaya yang mengancamnya. Dia merasa
hidupnya jadi rumit, karena harus selalu memalsukan neraca rugi laba agar tetap
dipercaya bank. Sementara itu, gaya hidup dan pabrik kuenya terus menyedot
dana besar, tapi tidak langsung mendatangkan laba yang signifikan. Biaya
operasional meleset dari hitungan. Di saat yang sama, tagihan tetap datang.
Dan untuk menutupinya, dia tak tahu harus berbuat apa selain mengajukan lagi
kredit demi kredit.

Pak Herman yang sebelumnya selalu menahan diri dengan prinsip hidup bersih
yang diyakininya, kini terbelit kredit bunga berbunga yang bukan hanya salah
secara manajerial, tapi juga melanggar kaidah agama.

Semua jenis kredit terus dibabatnya. Semua aset yang bisa diagunkan dia
agunkan. Kian lama dia kian berani dan tanpa perhitungan. Maka bergulirlah
sebuah bola salju yang kian lama kian besar, dan tak bisa dihentikan kecuali
hancur menghantam sesuatu.

Jadi, utang modal untuk usaha yang baru tumbuh, di tangan pengusaha yang
bermental miskin adalah utang buruk. Utang tanpa disertai keterampilan
manajerial yang matang dan mentalitas yang kaya adalah malapetaka. Bagai
minum air laut, yang dihasilkan adalah kehausan demi kehausan.

Tragedi utang buruk sudah ada sejak zaman purba. Perbudakan manusia
terhadap manusia memang telah dinyatakan lenyap dari muka bumi. Namun,
perbudakan yang disebabkan oleh utang buruk masih bercokol hingga kini, dan
selalu menanti mangsa. Utang buruk menjadikan manusia terbelenggu, jauh dari
karakter merdeka dan kaya. Bad debt is indeed a slavery.

OKB. Anda pernah mendengar istilah itu?
Ya, Orang Kaya Baru. Istilah ini biasa muncul ketika ada seseorang yang mengubah
penampilan dan gaya hidupnya, biasanya karena mendadak memperoleh uang
lebih. Perubahan yang paling kasat mata adalah pola konsumsi yang meningkat.
Yang biasa belanja di pasar tradisional jadi merasa harus ke supermarket. Dia
jadi lebih sering membahas digit besar, dan bergaya dengan barang-barang
mahal, agar dipandang sejajar dengan kalangan “kaya” lainnya.

Sayangnya, banyak sekali orang yang gamang dalam memahami konsep “kaya”.
Itu masalah gawat yang pertama. Banyak di antara kita yang menganggap bahwa
orang kaya adalah mereka yang tampil wah dengan mobil bagus, bisa jalan-jalan
ke luar negeri, punya rumah megah, atau bisa dengan enteng membayar
segelas kopi dengan harga sekarung beras.

Masalah gawat yang kedua adalah, banyak juga yang tidak tahu dengan pasti,
bagaimana membangun kekayaan yang sebenarnya. Membangun kekayaan
sering disamakan dengan mendirikan gedung kantor mewah di kawasan
bergengsi—lagi-lagi kita harus membahas ulang, apa sih yang disebut dengan
bergengsi itu.

Membangun kekayaan sering didefinisikan sebagai mengumpulkan uang demi
membayar cicilan mobil atau apartemen mahal. Mengumpulkan perhiasan
atau membeli tanah di berbagai lokasi juga sering dianggap sebagai usaha
membangun kekayaan. Ini kesalahan yang ironis.

“Barang siapa tidak dengan sadar membangun kekayaan, maka kemungkinan

besarnya dia dengan tidak sadar sedang membangun kemiskinan”.

Masalah gawat yang ketiga adalah, banyak orang yang terjebak dan tak bisa
membedakan antara “kaya” dan “kelihatan kaya”. Kerancuan pemahaman ini
justru menghadang orang untuk menjadi kaya yang sebenarnya.

Sebutlah seorang artis yang penampilannya sangat trendy. Aneka barang
yang melekat di tubuhnya bermerk internasional. Dikabarkan, sekali main
film, honornya bisa membuat kita ternganga. Berbagai tayangan infotainment
dengan setia meliput kegiatan liburannya di berbagai tempat. Sayangnya, belum
juga setahun namanya melambung, dia dikabarkan menunggak tagihan listrik
dan telepon, berutang di sana sini, bahkan dilaporkan ke polisi karena diduga
menipu rekan bisnisnya, beberapa puluh juta saja.

Mungkin di antara kita ada yang pernah melakukan investasi pada bisnis yang
salah. Pasalnya sederhana : salah mengenali pasangan bisnis kita. Dengan rumah
dan penampilannya yang mentereng, juga kebiasaannya menyebut angka-angka
besar, kita berpikir bahwa dia itu orang kaya. Tanpa ragu, kita pecahkan
celengan demi ikut membangun bisnis bersama dia. Harapan kita tentu menjadi
kaya, setidaknya seperti dia.

Nah, setelah beberapa kali janji bagi hasil dipungkiri, Anda baru menelisik.
Ternyata, mobil yang dia pakai untuk menemui Anda adalah mobil rental.
Rumahnya yang megah itu sudah diagunkan, dan cicilannya dia bayar dengan
utang yang lain, termasuk dengan uang Anda. Bisnis properti yang selalu dia
dengungkan terancam bangkrut dan menyisakan aneka tagihan.
Teman Anda itu sama sekali bukan orang kaya. Dia adalah orang yang kelihatan
kaya. Bisnisnya sama sekali tidak sukses. Bisnisnya terlihat sukses.

Tiga masalah gawat ini bukan hanya kian menggejala di Indonesia, tapi sudah
mulai menjadi karakter bangsa.

Indonesia menjadi bangsa yang miskin karena bermain dan bermental layaknya orang miskin. Bandingkan utang Rp. 1.700 trilyun yang selalu dikeluhkan banyak kalangan, dengan utang Amerika Serikat yang mencapai Rp. 130.000 trilyun.

Jika di Indonesia, setiap bayi lahir disebut sebut memanggul utang sekian rupiah, pernahkah Anda mendengar ungkapan semacam itu di negara lain?

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia tahun 2011 adalahRp. 1.200 trilyun per tahun. Angka yang besarkah itu?

Coba kita lihat Jepang. Luas wilayah dan kekayaan alamnya tak sebanding
dengan Indonesia. Bahkan, jika Indonesia mulai merdeka dan bangkit pada
tahun 1945, maka di tahun yang sama Jepang justru mulai terpuruk. Nah, selama
66 tahun berselang, bagaimana gaya kedua negara ini menata hidupnya?

Setelah dihantam tsunami, tiga minggu kemudian pemerintah jepang
mengalokasikan Rp. 7.800 trilyun untuk dana perbaikan. Pada tahun 2010 APBN
Indonesia besarnya hanya 6% dari APBN Jepang.

Secara kasat mata jelas terlihat bahwa Jepang adalah bangsa besar, bangsa yang
kaya. Dalam kondisi terpuruk karena krisis ekonomi global atau bencana alam,
misalnya, karakter mereka tetap kaya. Faktanya, hanya orang kaya yang mampu
bermain angka besar dan bisa mengelolanya dengan jitu. Sebaliknya, dengan
prihatin harus kita akui bahwa anggaran setahun yang nyaris sepertujuh dana
dadakan adalah ciri bangsa miskin.

Bangsa kecil hanya akan berani bermain angka kecil. Bangsa miskin bahkan terlalu takut sekedar untuk membayangkan angka yang besar.

3 hal mendasar yang menjadi masalah dunia usaha di Indonesia :

1. Mindset entrepreneurship masih sangat rendah. Entrepre-neurship
seharusnya tidak hanya dimiliki oleh pengusaha tetapi oleh semua
orang, terutama pemerintah. Hanya pemerintah atau pemimpin yang
entrepreneur saja yang tahu cara membangun kekayaan negaranya.
Entrepreneurship yang rendah menyebabkan pertumbuhan
pengusaha di Indonesia sangat lamban. Dorongan dan iklim untuk
menjadi pengusaha di Indonesia berbeda dengan negara-negara kaya
seperti Singapura atau Amerika. Di China, pemerintah mendorong
agar setiap rumah tangga menghasilkan satu produk. Dan pemerintah
campur tangan penuh memasarkan produk itu. Bandingkan dengan
Indonesia ketika seseorang akan memulai sebuah usaha. Proses yang
harus dijalani begitu rumit, bahkan mahal—tak jarang pakai pungutan
liar. Ketika usaha sudah berjalan, pengusaha dibiarkan bertarung
sendiri di tengah pasar bebas.

2. Angka kejatuhan bisnis yang tinggi. Berdasarkan data yang ada
di Amerika, dari 100 bisnis yang tumbuh hanya 4% saja yang bisa
sampai berumur 10 tahun. 50% jatuh pada tahun kedua, 80%
bangkrut pada tahun kelima. Itu terjadi di negeri yang pemerintahnya
sangat mendorong dunia usaha, dan memiliki prosentase
pengusaha sebanyak 11%. Di Indonesia angka kejatuhan bisnis
lebih tinggi lagi karena banyak faktor. Bukan hanya faktor pribadi
pengusahanya, tapi juga faktor eksternal yang menekan kehidupan
bisnis. 70% pebisnis di Indonesia financially incompetent. Padahal,
menguasai keuangan adalah keterampilan pokok yang harus dimiliki
oleh seorang pebisnis setelah menjual. Kultur pebisnis di Indonesia
yang belum terbiasa membicarakan masalahnya juga berpengaruh
pada kejatuhan bisnis. Berbicara persoalan dalam bisnis itu dianggap
aib. Padahal di negara maju, masalah bisnis adalah hal biasa untuk
dibicarakan. Hasilnya, kian banyak pebisnis belajar dari kegagalan
pebisnis lain, dan pebisnis yang gagal juga segera memperoleh
dukungan dari pebisnis lain.

3. Tidak jelas nilai yang dibela. Ketidakjelasan ini berpengaruh pada
sikap dan keberpihakan warga negara terhadap sesuatu, termasuk
pada produk-produk lokal. Tidak adanya pembelaan terhadap produk
Indonesia menyebabkan banyak yang mati. Seharusnya, warga negara
Indonesia didorong untuk membeli sesuatu bukan karena murah,
bukan karena lebih baik, tetapi karena sesuatu itu buatan Indonesia.

Sebenarnya, jumlah kecil anggaran belanja Indonesia tak sebanding dengan
potensi sumber daya manusia dan alamnya. Dengan potensi itu, kita sangat bisa
menjadi bangsa yang kaya dalam arti yang sebenarnya. Bayangkan, penduduk
yang sangat banyak adalah potensi pasar yang luar biasa, sementara kondisi
alam Indonesia juga berkekuatan dahsyat. Belum lagi jumlah penduduk yang
besar merupakan modal yang luar biasa dahsyatnya.

Sayangnya, persoalan yang selama ini menghantui perjalanan bangsa Indonesia
menjadi bangsa kaya adalah tidak adanya pengetahuan tentang HOW WE PLAY.
Kita tidak bisa bermain sebagai bangsa kaya karena kondisi sosial dan budaya,
yang sedikit banyak membentuk mentalitas kita menjadi bangsa miskin.

Coba kita cermati, kredit yang paling laku di negara ini adalah kredit konsumtif,
yang dengan instan bisa membuat orang kelihatan kaya. Kartu kredit juga banyak
digunakan untuk mengembangkan bisnis, tanpa perhitungan yang akurat. Tanda
tangan akad kredit dulu, urusan bayar cicilan belakangan. Mereka tidak berpikir,
bahwa bisnis adalah sesuatu yang dinamis dan fluktuatif, sedangkan utang
dengan bunga tinggi itu tetap mengirimkan tagihan demi tagihan. Sebanyak
apapun uang Anda saat ini, jika tak bisa memastikan dari mana cicilan itu akan
dibereskan, maka Anda adalah orang miskin. Lebih tepatnya, Anda bermental
miskin.

Pernahkah Anda berpikir, bahwa utang konsumtif merupakan ciri utama
mentalitas orang miskin? Ya. Orang miskin berutang untuk bertahan hidup,
sedangkan orang kaya sesekali berutang demi investasi yang sudah jelas
perhitungannya. Utang orang miskin berjumlah sedikit, dan kemampuan
bayarnya nyaris nol. Sementara orang kaya bisa berutang banyak karena yakin
mampu melunasinya.

Pesimis?

Sama sekali tidak.

Indonesia jelas masih punya harapan. Membangun karakter kaya bisa dilakukan
secara terstruktur. Dan yang harus dikedepankan adalah menghidupkan
atribut leadership di negeri ini. Jika pemimpin kita memahami bahwa
membangun karakter kaya adalah sesuatu yang mendesak, maka percepatan
bisa dilakukan.

Di masa penjajahan, kehidupan yang serba memprihatinkan dianggap biasa.
Kemiskinan selama tiga ratus tahun lebih diterima sebagai cobaan tiada akhir.
Namun, ketika Sukarno menggedor harga diri bangsa, semua berubah. Di
berbagai daerah timbul pergolakan melawan penindasan. Rakyat jadi tahu bahwa
ada realitas lain selain penderitaan. Mereka baru paham bahwa sebenarnya
penjajahan ini sama sekali bukan takdir atau kutukan. Bangsa Indonesia sadar
bahwa untuk menjadi bangsa bermartabat, diperlukan perjuangan.

Bagaimana dengan konteks kekinian?
Proklamasi digaungkan sejak 1945, namun hakikat kemerdekaan masih jauh
dari harapan. Jika Sukarno menggeliatkan perlawanan Indonesia terhadap
pemerintah kolonial, maka pemimpin yang diperlukan Indonesia untuk menjadi
bangsa bermental kaya mesti memiliki tiga hal :

• Leadership, yakni kecerdasan mengorganisir segala sesuatu. Implikasi
kepemimpinan yang efektif adalah bangsa, komunitas, perusahaan, bahkan
pribadi yang terkelola sebagaimana mestinya. Pemimpin yang kuat bisa dengan
yakin memutuskan, bertindak, atau tidak bertindak, karena dia memahami
dengan jelas, kepentingan apa yang sedang dia bela. Coba renungkan, betapa
banyak kasus hukum yang terpaksa dikaburkan hingga akhirnya terlupakan—
entah karena kendala atau pertimbangan tertentu. Strong leadership berarti
kemampuan bersikap dan melihat semua persoalan secara sederhana namun
strategis. Bangsa dengan pemimpin yang kuat tak akan gamang berhadapan
dengan tekanan apapun.

• Entrepreneurship, yakni kecerdasan ekonomi. Yang wajib memiliki jiwa
entrepreneursip bukan hanya pengusaha. Pemimpin negara harus memiliki
pemahaman entrepreneurship, karena sejatinya satu sendi utama kehidupan
suatu bangsa adalah ekonomi. Bangsa yang secara ekonomi lemah cenderung
untuk tidak merdeka dalam aspek kehidupan yang lainnya. China bisa bangkit
sebagai raksasa ekonomi ketika Deng Xiaoping berani mengeksekusi berbagai
keputusan ekonomi yang cerdas. Lee Kwan Yew dan Mahattir Muhammad
juga terkenal sebagai pemimpin yang piawai membuat keputusan ekonomi.
Anda bisa lihat, bagaimana perfomance pemimpin suatu negara memengaruhi
tingkat kesejahteraan bangsanya. Perlu pemimpin yang fasih berdialog dan
bertindak di bidang ekonomi untuk membawa bangsa Indonesia menjadi
kaya.

• Spiritualitas. Seorang pemimpin mesti memiliki kecerdasan hidup. Bangsa
yang memiliki dimensi spritual yang kuat, akan mudah digerakkan. Pemimpin
sebuah bangsa yang berhasil bangkit sebagai bangsa besar pasti memiliki
kharisma spiritual. Sedemikian pentingnya menjaga spiritualitas ini, bangsa
komunis seperti China sampai mengawetkan jenasah Deng Xaioping. Bangsa
Jepang mengagungkan Dewa Matahari, walau oleh beberapa kalangan
kepercayaan mereka itu dianggap berasal dari mitos semata. Pemerintah
Jepang dengan jelas memasukkan dimensi spritual ini ke dalam berbagai
sendi kehidupan masyarakatnya. Jadi, dengan kehidupan spiritual yang lekat
di Indonesia, semestinya bisa jadi pemantik menuju kebangkitan yang hakiki.
Pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual pasti melihatnya sebagai potensi
kekuatan yang dahsyat.

Ketiganya wajib ada untuk membangun budaya dan karakter bangsa yang kaya.
Jika salah satu saja terlewat, maka sulit rasanya untuk beranjak dari karakter
miskin. Saya serahkan kepada Anda, para pembaca, untuk mencermati, apakah
kepemimpinan di negara kita memenuhi tiga syarat tersebut.

Bagi orang pintar, sukses itu adalah jika kita berhasil menjual sesuatu; orang
bodoh berkata bahwa sukses adalah jika kita bisa membeli sesuatu.

Hal kedua yang harus terjadi adalah gerakan edukasi. Kita akan bersama-sama
melakukan perubahan melalui pendidikan. Jika pendekatan kepartaian
tidak atau belum bisa diharapkan untuk membentuk karakter bangsa, maka kita
bisa berharap kepada edukasi.

Karakter miskin yang dimiliki bangsa ini tumbuh tanpa kita sadari. Angka
kemiskinan yang dikabarkan kian menyusut tak mampu menghibur rasa miris
ketika Tenaga Kerja Wanita kita dihinakan di negeri orang. Kita juga tak bisa
menutup mata bahwa banyak tunawisma meringkuk di setiap sudut kota.
Pengangguran dan berbagai masalah yang berasal dari kemiskinan sosial masih
saja disuarakan berbagai lembaga swadaya masyarakat.

Kewirausahaan di Indonesia belum juga menemukan titik balik. Masih
banyak yang memaknai kewirausahaan sebagai ketersediaan modal. Dengan
pemahaman itu, pemerintah melalui berbagai kebijakan mewajibkan bank
mengucurkan pinjaman modal kepada masyarakat agar menjadi pengusaha.
Sayangnya, kebijakan itu tidak didahului dengan pembangunan karakter kaya.
Memberikan pinjaman kepada orang yang berkarakter miskin sama buruknya
dengan mengulurkan pisau tajam kepada anak balita. Dapat dipastikan,
pinjaman tadi akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk kebutuhan
konsumsi.

Usaha yang dibangunnya dengan karakter miskin akan berakhir
dengan kebangkrutan, lengkap dengan sisa utang berbunga tinggi, tanpa ada
kemampuan membayar. Adakah yang lebih tragis dari itu?

Sementara itu, investor asing berbondong-bondong menanamkan modalnya
dan menangguk untung dan membangun kekayaan di Indonesia. Bagaimana
tidak, jumlah penduduk Indonesia yang besar adalah pasar potensial. Dengan
strategi pemasaran yang jitu, mereka berhasil menciptakan bangsa Indonesia
sebagai bangsa konsumen. Belum lagi sumber daya alam yang juga melimpah,
dan begitu mudah berpindah tangan hanya dengan beberapa kesepakatan kecil.

Jadi, Indonesia itu sebenarnya kaya?
Ya. Indonesia memang kaya sumber daya manusia dan sumber daya alam.
Sayangnya, karakter kaya tidak kita miliki.

Ternyata, miskin atau kaya bukanlah sedikit banyaknya uang atan bahan
tambang yang kita miliki. Miskin atau kaya adalah cara hidup. Miskin atau kaya
adalah karakter!

Buku ini mengajak Anda mengelola diri, dan menjadi pribadi yang kaya. Jika
saya ingin kaya, apa yang harus saya lakukan. Buku ini mengajukan 9 pertanyaan
fundamental kepada orang yang ingin kaya, yang sudah kaya, dan ingin tetap
kaya!

Hard work certainly goes a long way. These days a lot of people work hard,
so you have to make sure you work even harder and really dedicate yourself
to what you are doing and setting out to achieve. - Lakshmi Mittal -