Wednesday, July 5, 2017

Strategi Membangun Kekakayan Tanpa Riba part9

PERTANYAAN 9
DI LEVEL MANAKAH ANDA BERMAIN?

Anda masih ingat suasana Krisis Moneter 1997? Harga barang melambung,
sejumlah perusahaan besar gulung tikar, dan banyak orang terancam jadi
pengangguran. Di saat itulah, Indonesia panen pengusaha dadakan. Orangorang
yang terkena PHK banting stir menjadi pengusaha karena terdesak
kebutuhan. Tak ada yang salah dengan pilihan menjadi pengusaha. Hanya saja,
mereka cenderung memulai bisnis tanpa rencana yang matang, tanpa tujuan
yang jelas selain menjaga stabilitas ekonomi.

Akhirnya, dengan pesangon yang ada, mereka bergegas menciptakan bisnis
dengan tujuan segera mendatangkan penghasilan. Yang penting cari untung
dulu, rencana dan pengelolaan bisnis bisa menyusul. Bisnis segera meluncur
bebas, karena biasanya modal tersedia dari pesangon. Dan setelah beberapa
saat, terlihatlah bahwa mereka cenderung gagal mengendalikan biaya
operasional. Mereka tak bahkan tahu pasti apakah uang yang mereka peroleh
adalah penghasilan yang sesungguhnya.

Seorang mantan karyawan, misalnya, memutuskan untuk mendirikan sebuah
warnet di teras rumahnya. Dia hanya berpikir singkat: segera menghasilkan
uang. Maka berdirilah warnet dengan desain menarik dan harga sewa bersaing.
Tanpa perlu menunggu lama, uang segera mengalir ke laci mejanya, sehingga dia
yakin bahwa bisnis ini bisa diandalkan. Padahal, tanpa sadar, tabungannya kian
tergerus oleh biaya listrik, gaji karyawan, dan tentu saja pengadaan perangkat
warnet yang tidak murah.Ketika kemudian tabungannya habis, dan penghasilan
warnetnya bahkan tak cukup untuk menutupi biaya operasional, semua sudah
terlambat.

Ada juga orang yang terlalu jatuh cinta dengan ide atau produk bisnisnya.
Mereka berasumsi bahwa datangnya uang itu adalah berkat hasrat berbisnis,
kerja keras, dan berpikir positif. Dia sangat yakin bahwa produknya begitu
istimewa, sehingga tak ada pesaing. Mereka juga yakin bahwa keuntungannya
akan terus meningkat, sementara pengeluaran akan tetap bahkan menurun.
Ketika dugaan mereka salah, uang yang tertanam di bisnis yang “istimewa” tadi
tak bisa dia tarik lagi. Belum lagi jika kita mau kembali membahas gaya hidup
orang-orang yang ingin terlihat sukses. Pengusaha yang mengalami bulan madu
dengan bisnis barunya ingin segera terbang. Terlalu jelas akibatnya: terlihat kaya
dan segera ambruk dalam hitungan waktu tak terduga.

Kini, tibalah kita pada pertanyaan pamungkas. Di level manakah Anda akan
bermain? Apakah Anda akan bermain di level para pengusaha dadakan yang
bermental miskin? Yang tak punya tujuan lain kecuali menghasilkan uang untuk
menyambung hidup? Atau, Anda memutuskan untuk bermain di level orang
kaya? Yang memiliki rencana jelas, tim yang solid, etos kerja yang baik, dan tata
nilai yang kuat? Apakah Anda cukup sabar untuk menahan diri dari keinginan
terlihat kaya dan terlihat sukses?

Bagaimana dengan riba? Jika uang riba disodorkan kepada Anda, di saat Anda
sangat membutuhkan dana untuk menyelamatkan bisnis, apakah Anda akan
menerimanya dengan sejuta dalih? Bisakah Anda memutuskan untuk tetap
bermental kaya, dan tetap bermain di level orang kaya, walau sesedikit apapun
uang di saku Anda?

Islam sangat peduli terhadap kemiskinan, dan menyeru ummatnya
agar melepaskan diri dari belenggu kemiskinan.

Semua pertanyaan itu menyodok eksistensi kita. Semua jawabannya
menunjukkan, di mana sebenarnya kita sedang berada. Di kelompok orang
miskin, atau orang kaya. Bagaimana akhir kehidupan seseorang ditentukan
oleh cara dia bermain hari ini. Jika hari ini dia bermain seperti orang miskin,
walaupun berlimpah materi, maka di akhir kehidupannya dia akan tetap miskin.
Sebaliknya, orang yang hari ini terlihat biasa-biasa saja, jika dia terus bermain
seperti orang kaya, dia akan berakhir menjadi orang kaya. It’s a matter of how
you play.

Besar kecilnya pendapatan seseorang di dalam hidup dan bisnisnya juga
ditentukan oleh bagaimana dia bermain. Coba Anda perhatikan karakter tiga
pengusaha yang saya sebutkan di atas bersikap. Mantan karyawan dengan
warnetnya, pengusaha yang begitu cinta dengan produknya, dan orang yang
gagal mengendalikan gaya hidupnya. Sikap ketiganya berasal dari mentalitas
orang miskin: takut kehilangan harta, terlalu yakin bahwa dia pasti berhasil,
dan ingin terlihat kaya. Karena itu, di akhir hidupnya pun, dia akan menjalani
kehidupan yang serba kekurangan.

Lantas, pernahkah Anda bertanya, mengapa manusia di muka bumi ini bisa
berbeda-beda kualitas hidupnya? Padahal, kita hidup di bumi yang sama,
menghirup udara yang sama. Apakah ada peran Tuhan di sana? Apakah Tuhan
hanya menciptakan orang-orang tertentu untuk menjadi kaya sedangkan orang
yang lain diciptakan untuk menjadi miskin?

Besar kecilnya pendapatan seseorang di dalam hidup dan bisnisnya juga
ditentukan oleh bagaimana dia bermain.

Ternyata, Tuhan memberikan rezeki kepada manusia sesuai tingkat bagaimana
mereka bermain. Ada, 4 tingkatan rezeki yang bisa diperoleh manusia. Setiap
level rezeki ini memiliki kualifikasi yang berbeda dari segi jumlah maupun siapa
saja yang berhak mendapatkannya. Coba kita lihat, rezeki level mana yang
menjadi hak kita.

• Level 1, rezeki makhluk. Ini adalah rezeki level terbawah. Rezeki ini dicurahkan
oleh Allah swt bagi semua mahkluknya. Orang yang lahir di Cianjur dijamin
rezekinya, orang yang lahir di Jakarta dijamin rezekinya, yang di tengah kota,
yang kampung, di tengah hutan semua dijamin rezekinya. Bahkan orang yang
tinggal di tempat yang sangat terpencil seperti di kutub utara pun tidak luput
dari jaminan Allah swt. Nah, rejeki pada tingkat ini tidak perlu dikhawatirkan,
karena Dia tidak memilih apakah seseorang itu rajin, atau malas. Semua
diberiNya rezeki. Orang yang sedang terbaring sakit dan tak bisa keluar dari
rumah pun memiliki rezeki di tingkat ini. Dan bukan hanya manusia yang
dijamin, tetapi semua makhluk, termasuk tumbuh-tumbuhan dan binatangbinatang.

Mari kita belajar bagaimana seekor cicak memperoleh rezeki. Cicak adalah
binatang yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk merayap di
dinding. Dia hanya bisa merayap, tidak bisa melompat jauh apalagi terbang.
Padahal, makanan cicak adalah nyamuk yang terbang kesana kemari. Coba
pikirkan, betapa sulitnya kita menangkap satu ekor nyamuk. Tapi cicak selalu
bisa menyantap nyamuk, dan bisa bertahan hidup. Inilah pelajaran kepada
kita, bagaimana Allah swt menjamin rejeki bagi kita semua, yaitu rezeki yang
disediakan untuk semua makhluk yang diciptakanNya, tanpa kecuali.

• Level 2, rezeki orang yang berusaha. Orang yang berada di level ini akan
memperoleh rezeki sesuai dengan yang diusahakannya. Jika dia bekerja 8 jam
sehari, maka penghasilan yang diterimanya akan lebih besar daripada orang
yang bekerja 3 jam sehari. Seorang sarjana lazimnya punya rezeki lebih besar
daripada lulusan sekolah dasar. Orang yang giat akan memperoleh hasil yang
lebih banyak.

Indonesia mulai membangun negara dalam waktu yang bersamaan dengan
Jepang, yaitu mulai Agustus 1945. Bedanya, kita memulainya dengan sebuah
sejarah gemilang, karena berhasil keluar dari penjajahan yang beratus tahun
lamanya. Sedangkan Jepang harus memulainya dengan keadaan muram
karena terpuruk akibat bom atom yang dijatuhkan oleh sekutu di Nagasaki
dan Hiroshima. Namun apa yang kita lihat sekarang. Jepang yang saat itu
diperkirakan sudah berakhir sejarahnya, kini justru menguasai dunia dengan
cara yang lain. Produknya ada di seluruh dunia, dan Jepang telah tumbuh
menjadi salah satu negara dengan kekuatan ekonomi yang sangat besar.
Sedangkan Indonesia yang pada saat itu diperkirakan akan menjadi macan
asia, ternyata hari ini masih berkutat dengan berbagai masalah kemiskinan
di negeri sendiri. Pertanyaannya adalah, apakah Allah lebih memberkahi
Jepang daripada Indonesia? Inilah yang disebut dengan rezeki level 2. Jepang
meraih kehidupan ekonomi yang jauh lebih baik karena mereka bekerja
lebih keras daripada kita. Mereka membuat aneka kendaraan sedangkan kita
tidak, mereka memproduksi alat-alat elektronik sedangkan kita tidak, mereka
membangun infrastrukur sedangkan kita tidak. Intinya mereka bekerja lebih
keras daripada kita, maka pantaslah mereka memperoleh rezeki yang lebih banyak.

Kenyataannya, terlepas dari seberapa keras dan seberapa cerdas seseorang
dalam bekerja, ternyata 99% manusia berada pada level ini. Mereka
memperoleh rezeki melalui kerja keras. Semakin besar hasil yang mereka
peroleh, makin banyak waktu, tenaga, dan pikiran yang harus dia curahkan.
Orang di level ini mungkin memiliki penghasilan yang sangat tinggi, tapi
banyak di antara mereka yang hidupnya sangat sibuk dan melelahkan. Bahkan
bisa jadi, orang seperti ini tak memiliki kehidupan. Waktunya seolah terjerat
dengan apa yang harus diusahakannya. Orang yang hanya berhenti bermain
di level ini hidupnya sangat capek!

How you care to others will define your business’ success. Sukses bisnis
ditentukan oleh bagaimana kita menolong orang lain. Ucapan sahabat
saya Pengusaha di Amerika, Randall Book, selalu saya ingat. Dalam
kehidupan sosialnya, pengusaha tambang emas, pemilik Westin Hotel
Detroit , dan pemain property terkemuka di Detroit ini adalah Presiden
Yayasan Kanker Amerika yang telah menolong ratusan ribu penderita
kanker di Amerika. Ketika saya ajak ke Indonesia, dihadapan para
Pengusaha di bandung Randy -begitu dia akrab disapa- berbagi tentang
bagaimana dia mengelola dan menghargai uang. Sebuah koin 1 sen
baginya sangat berharga, dan dia tidak segan-segan memungut dan
menyimpannya. Big always start from small. The way you do
something is the way you do everything tegasnya.

• Level 3, rezeki orang yang bersyukur. Orang yang berada di level ini
memperoleh hasil jauh lebih tinggi dari apa yang dikerjakannya. Mereka
adalah orang-orang yang memahami bahwa di dalam harta yang mereka
miliki terdapat hak orang lain. Mereka adalah orang-orang yang hidup
hatinya, dan selalu membantu orang lain dalam keadaan lapang dan sempit.
Mereka berkeyakinan kuat bahwa jika saya hanya memikirkan diri sendiri,
maka persoalan yang saya hadapi tidak akan pernah selesai. Namun jika saya
mau memikirkan dan menolong orang lain, maka persoalan saya akan Allah selesaikan.

Jepang meraih kehidupan ekonomi yang jauh lebih baik karena
mereka bekerja lebih keras daripada kita.

Di New York, dulu ada orang yang bernama Rockefeller. Dia dijuluki The
Unexpected Hero, pahlawan yang tidak disangka-sangka kehadirannya.
Julukan itu dia peroleh karena pada saat krisis ekonomi melanda Amerika,
ketika terjadi kebangkrutan di mana-mana, PHK besar besaran, masyarakat
kesulitan membeli kebutuhan hingga makanan, Rockefeller justru melakukan
hal yang sebaliknya. Dia memberikan bantuan secara luas, memberikan
makanan kepada orang-orang yang membutuhkan. Pendek kata, apa yang
bisa dia lakukan dengan hartanya untuk menolong orang lain maka akan
dia lakukan pada saat itu. Apa sesungguhnya yang menggerakkan seorang
Rockefeller untuk melakukan semua itu?

Ketika di New York, saya dengan istri berkesempatan masuk ke perkantoran
milik keluarga Rockefeller. Di dalam gedung, di tingkat atas, saya membaca
sebuah tulisan yang saya ingat sampai hari ini. “Tuhan memberi banyak kepada
yang membutuhkan banyak!” Tulisan itu ditulis oleh mendiang Rockefeller.
Luar biasa sekali orang ini, pikir saya. Jika kita hanya peduli dengan diri sendiri,
artinya kita hanya membutuhkan sedikit. Namun jika kita mau mengurus
orang lain, maka yang kita butuhkan banyak. Memang banyak orang pelit
yang hartanya terlihat banyak. Namun, jika kita telisik lebih dalam, ternyata
harta yang banyak belum tentu mendatangkan kehidupan yang lapang. Ada
saja persoalan yang harus mereka hadapi. Karena kaya dan miskin bukanlah
sekedar harta banyak atau sedikit, tapi lebih berupa kehidupan yang lapang
atau sempit.

Lihatlah siapa 10 orang terkaya di dunia, mereka adalah orang-orang yang
sangat istimewa dalam bersedekah. Semua bangsa dan agama di dunia
percaya bahwa bersedekah tidak akan mengurangi harta. Sebaliknya, sedekah
akan membuat harta kian subur, makin berkah, dan bertambah banyak.
Sayangnya, hanya sedikit orang yang mau meyakini dan melakukannya.


“Tuhan memberi banyak kepada yang membutuhkan banyak!”

• Level 4, rezeki orang yang bertaqwa. Level rezeki ini diberikan kepada orangorang
yang dalam hidupnya tak pernah ada rasa rasa takut dan khawatir.
Kedekatannya dengan Allah swt membuat banyak masalah yang seharusnya
dia hadapi jadi diambil alih. Rezeki orang yang ada di level ini berasal dari
arah yang tidak disangka-sangka. Apakah mudah memperoleh rezeki ini?
Saya tak hendak menjawabnya. Hanya saja, orang di level ini memiliki hati,
pikiran, ucapan dan tindakan yang sangat terjaga. Kehidupannya sebagai
hamba dia dedikasikan untuk berjuang dengan harta dan jiwa. Rezekinya
sudah tak terukur, tak terbatas. Dia sangat paham dan pernah menjalani 3
level rezeki sebelumnya. Masalahnya, banyak orang merasa berada di level 4,
padahal sebenarnya dia adalah pemalas di level 1, yang hanya berdoa namun
meninggalkan ikhtiar, kemudian mengharapkan uluran tangan orang lain.
Selain itu, orang di level 4 juga bukan orang-orang yang kikir. Orang yang
masih kikir berada pada level 2, karena dia merasakan beratnya bekerja demi
memperoleh penghasilan. Akibatnya, dia merasa sayang jika harus membagi
hasil jerih payahnya itu dengan orang lain. Orang-orang yang memiliki rezeki
di level 4 ini adalah pekerja keras dan selalu mengukir prestasi.Beberapa
rekan yang datang kepada saya dalam keadaan terlilit utang bertahun-tahun.
Awalnya, mereka merasa sudah tidak ada jalan keluar. Faktanya, banyak di
antara mereka yang berhasil bangkit, kembali memiliki bisnis, dan meraih
kehidupan yang lebih baik. Apa yang mereka lakukan?

Mereka bermain di level empat. Dan salah satu disiplin yang harus mereka
genggam erat untuk memperoleh rezeki level ini adalah taat kepada ketentuan
agama. Tindakan yang paling nyata adalah meninggalkan semua bisnis dan
transaksi yang melibatkan uang riba. Mengapa? Karena kita tak akan pernah
kaya dengan riba. Bisnis yang mengandalkan riba hanya menghasilkan
keuntungan dan kesuksesan semu. Perjalanan hidup pelakunya—pemberi,
pengguna, dan perantaranya—akan berakhir dengan masalah besar.

Dalam sebuah wawancawa, seorang konglomerat di negeri ini ditanya
oleh wartawan, “Om, usia Om sudah sangat lanjut. Kok masih mau bekerja
mengurusi bisnis?” Konglomerat itu menjawab “Iya. Soalnya utang saya masih
banyak.”

Bisnis dengan menggunakan uang riba memang menggiurkan. Modal besar
bisa Anda peroleh dalam waktu singkat, dan persyaratan yang sangat ringan.
Ketika saya memutuskan untuk meninggalkan riba, seorang rekan bisnis
bertanya, “Mengapa meninggalkan riba? Apakah bisnis yang non riba itu
lebih besar peluang untungnya?” Teman saya itu salah duga. Saya memang
pebisnis, tapi saya tak melulu mengejar keuntungan. Saya memutuskan
untuk meninggalkan riba dan memilih bisnis yang sesuai dengan tuntunan
agama bukan demi uang yang lebih besar, melainkan sesuatu yang jauh lebih
berharga: saya ingin selamat!

Bisnis yang mengandalkan riba hanya menghasilkan keuntungan dan
kesuksesan semu. Perjalanan hidup pelakunya—pemberi, pengguna, dan
perantaranya—akan berakhir dengan masalah besar.

Riba dengan berbagai wajahnya—kartu kredit, bank abal-abal, kredit tanpa
agunan, hingga yang terang-terangan menyebut diri rentenir—memang
memikat banyak orang. Dalam kondisi terdesak, dengan mentalitas dan
karakter miskin yang melekat, maka sesuatu yang jelas-jelas dilarangpun akan
ditabrak. Selanjutnya, begitu menyentuh riba, maka yang tertanam dalam diri
adalah semangat bahwa saya harus kaya, saya harus untung, tak peduli jika
saya harus menindas orang lain. Tuntutan pengembalian dengan bunga yang
sangat tinggi membuat kita dipacu untuk menghasilkan angka yang jauh
lebih besar. Jadi, riba adalah sebuah manifestasi dari keserakahan. Riba alat
untuk menindas dan menjajah orang lain.

Lain halnya dengan bisnis yang dikelola berdasarkan nilai-nilai agama yang
mulia. Dengan berpegang teguh pada agama, maka bisnis saya membawa
semangat keadilan, kejujuran, keterbukaan, dan saling tolong menolong.
Melalui bisnis ini saya tak pernah merasa takut kekurangan, karena Allah
menjamin rezeki saya akan mengalir dari arah yang tidak saya sangka-sangka.

Jadi, di level berapa anda bermain?

Baca Juga :
Strategi Membangun Kekakayan Tanpa Riba part7

Sunday, July 2, 2017

Strategi Membangun Kekakayan Tanpa Riba part8

PERTANYAAN 8
BAGAIMANA CARA ANDA MENYIKAPI RESIKO?

Coba Anda ingat kembali. Sepanjang hidup, berapa kali Anda mengambil
keputusan yang beresiko? Apa yang kemudian terjadi? Sejauh mana resiko itu
mempengaruhi kehidupan Anda? Pertanyaan kita yang ke delapan berkaitan
dengan keberanian mengambil resiko. Anda tentu bisa membedakan antara
perbuatan konyol dengan keberanian mengambil resiko. Tindakan konyol
selalu didorong oleh nafsu dan emosi, sehingga pelakunya tak peduli dengan
pertimbangan apapun. Orang yang menyambar semua peluang bisnis tanpa
mengukur kemampuan diri bukanlah orang yang berani. Dia bertindak konyol,
dan sedang mempertaruhkan reputasinya sendiri.

Lain halnya dengan orang yang berani mengambil risiko. Sebelum mengambil
langkah, dia akan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Dia akan berlatih
menajamkan intuisinya, juga melakukan improvisasi, sejauh dia bisa
mengendalikan situasinya. Ketika seseorang banyak berlatih dan berimprovisasi,
maka lahirlah keterampilan dan sense yang tajam dalam berbisnis.

Mengambil resiko adalah bagian integral dari bisnis maupun kehidupan. Resiko
adalah bagian dari hidup. Lantas, mengapa kata “resiko” lebih sering berkonotasi
negatif, bahaya, kerugian, bahkan ancaman kegagalan? Alasannya sederhana:
hanya sedikit orang yang bisa mengelola resiko dengan cara yang benar. Orang
cenderung melihat aspek negatif dari resiko. Mereka lupa bahwa resiko juga
punya aspek positif seperti lompatan penghasilan, dan yang paling jelas adalah
pengetahuan atau pengalaman.

Semua orang kaya dan pelaku bisnis yang berkualitas adalah orang-orang
yang berani mengambil risiko. Keberhasilan mereka bukanlah hasil untunguntungan.
Orang bermental kaya tak pernah tertarik dengan permainan
tebak-tebak berhadiah. Setiap resiko yang mereka ambil selalu diiringi dengan
berbagai latihan, dipadukan dengan improvisasi yang penuh perhitungan.
Ketika memulai usaha, dia memutuskan untuk siap menerima resiko apapun,
termasuk kegagalan terpahit sekalipun. Ketika sebuah keputusan dijalankan, dan
hasil yang diharapkan tak segera terlihat, dia bersabar. Begitu resiko pertama
muncul, dia pun tak lantas berkecil hati. Resiko-resiko berikutnya dia pelajari,
hingga setelah ke sekian kali gagal, dia menuai sukses. Peluang besar yang
selalu menyertai setiap resiko inilah yang membuat pengusaha selalu berani
menghadangnya.

Menandatangani kontrak besar, menjalin kerja sama dengan mitra, melakukan
investasi, hingga melakukan ekspansi ke pasar yang lebih luas berarti
menempatkan usahanya di tempat yang bukan lagi status quo. Perubahan
demi perubahan akan menyertai setiap keputusan yang diambilnya. Dan itu
mengandung resiko, sekaligus memberikan peluang.

Menghadapi resiko adalah kemestian kehidupan. Artinya, berani atau tidak
berani, semua manusia selalu berhadapan dengan resiko. Dalam keseharian
mereka, resiko selalu hadir dalam berbagai bentuk. Ketika Anda memutuskan
untuk menunda cicilan kendaraan karena uangnya hendak dialokasikan untuk
keperluan lain yang lebih mendesak, Anda sedang mengambil resiko. Bahkan
ketika Anda memilih mengenakan kaus dan bukan kemeja hari ini, pasti ada
resiko yang sudah Anda perhitungkan. Disadari atau tidak, semua orang
pasti berhadapan dengan hukum sebab akibat. Apapun perbuatan Anda pasti
mengundang resiko tertentu—yang baik dan yang buruk.

Mengambil resiko adalah bagian integral dari bisnis maupun kehidupan.
Resiko adalah bagian dari hidup.

Jadi, kemampuan mengambil resiko itu sebenarnya inheren dalam diri kita
masing-masing. Yang membedakannya adalah porsi latihan yang dilakukan
oleh masing-masing individu. Mayoritas orang cenderung untuk memilih hidup
aman di masa sekarang, tanpa peduli apakah di masa datang mereka juga
aman. Yang penting sekarang senang, besok urusan belakangan. Sayang sekali.

Memang, tak ada yang salah dengan pilihan hidup nyaman di masa sekarang.
Yang perlu dipertimbangkan dengan cermat adalah resiko di masa depan. Jika
kita tahu bahwa pilihan ini akan membahayakan masa depan, maka langkah
yang paling bijak adalah mengantisipasinya mulai dari sekarang.

Menurut saya, cara yang terbaik untuk menghindari resiko adalah dengan
mengambil resiko itu sendiri. Artinya, untuk menghindari resiko di masa depan,
maka langkah yang terbaik adalah mengambil resiko itu saat ini. Dengan begitu,
setidaknya kita bisa memprediksi apa yang akan terjadi lima atau 10 tahun
mendatang, berdasarkan kondisi yang sedang kita jalani sekarang. Jika kita
cemas menghadapi resiko tersebut dalam 5 atau 10 tahun mendatang, maka
langkah yang terbaik adalah bersikap seolah resiko itu sudah berlaku sekarang.
Berpikir lima hingga sepuluh tahun ke depan adalah kunci untuk mengelola
resiko dan menjadikannya peluang.

Jika kelakuan saya saat ini akan membuat saya terlilit utang riba lima tahun
mendatang, maka sebaiknya saya mengambil resiko itu sekarang. Apa yang
harus saya lakukan? Keputusan apa yang harus saya ambil SAAT INI agar lima
tahun mendatang saya tak perlu terlibat riba?

Sayangnya, kenyataan yang sering saya temui adalah: lebih banyak orang yang
memilih menghindari risiko karena takut akan kehilangan sesuatu. Padahal,
berdiam diri bukan hanya membuat bisnis Anda stagnan, tapi juga terancam
runtuh. Tanpa keberanian mengambil resiko, Anda akan segera dilibas oleh
kompetitor yang lebih dinamis di pasaran. Mereka tak memahami, bahwa
ketakutan itu adalah ilusi—yang lagi-lagi berasal dari karakter miskin. Dan ilusi
itu akan lenyap begitu sebuah tindakan nyata dilakukan.

Coba kita perhatikan, bagaimana orang-orang kaya menghadang resiko. Mereka
berpikir, bahwa resiko sebuah keputusan bisnis adalah menjadi orang miskin,
atau menjadi orang yang lebih kaya lagi. Mereka tak menghindari resiko, dan
memilih menjalaninya dengan kalkulasi yang tepat. Mereka cerdik mengambil
resiko yang rendah dengan peluang keberhasilan yang tinggi. Anggapan
kebanyakan orang bahwa high risk akan menghasilkan high reward sama sekali
tidak berlaku bagi mereka. Penghasilan yang tinggi tidak selalu diperoleh
dengan resiko yang tinggi. Orang bermental kaya akan memilih low risk dengan
high reward.

Cara yang terbaik untuk menghindari resiko adalah dengan mengambil
resiko itu sendiri.

Sebagai pengusaha, saya juga berkali-kali berhadapan dengan resiko. Sebelum
mendirikan Balimuda, saya bekerja di sebuah perusahan distributor alat berat
selama lima tahun, kemudian pindah ke perusahaan distributor mobil. Di tahun
pertama, jabatan saya supervisor tentu dengan penghasilan tingkat supervisor
dan masih dengan jabatan supervisor di tahun ke lima maka tahun 2000, saya
memutuskan keluar dari perusahaan ini.

Sahabat saya sesama supervisor berkata, “Berani banget kamu! dalam kondisi
ekonomi sulit seperti ini, kamu ambil resiko meninggalkan posisi mapan di sini.”
Tentu Anda juga ingat, tahun 2000 memang berat. Selain akibat krisis global,
perekonomian Indonesia masih mencari bentuk setelah reformasi dan huru hara
ekonomi politik tahun 1998.

Kepadanya saya katakan, ”Sebenarnya kamu yang berani, kok mau bertahan
disini?” Mengapa saya berkata seperti itu? Karena dalam banyak hal, saya dan
dia sudah bisa memprediksikan karir yang akan mandeg pada posisi paling
tinggi sebagai manajer, tidak peduli sehebat apapun kami bekerja. Dugaan
kami benar. 15 tahun kemudian, saya bertemu dengan sahabat saya tadi, dan
jabatannya masih supervisor.

Maka pada tahun 2000 itu, saya putuskan keluar dan bergabung di sebuah grup
perusahaan tanah air, yang salah satu anak usahanya adalah televisi swasta
nasional. Ketika baru bergabung, tekad saya sudah jelas: lima tahun ke depan,
saya harus keluar dan mempunyai usaha sendiri.

Tahun kedua di perusahaan baru, saya mulai merintis usaha sendiri. Di sela
kesibukan saya sebagai karyawan, saya menekuni usaha penyewaan alat berat
untuk pertambangan di kawasan Yogyakarta. Saya memilih alat berat karena
setidaknya saya punya pengetahuan di bidang ini, saat saya bekerja di distributor
alat berat. Jadi, saya memang mengambil resiko, tapi tidak asal bikin bisnis. Saya
memilih bisnis yang saya kenal dengan baik.

Resiko pilihan saya adalah bekerja lebih keras, karena harus menghadapi dua
pekerjaan sekaligus. Saya punya usaha baru yang perlu pengawasan penuh,
sekaligus menjadi karyawan. Berat memang, tapi itu resiko yang harus saya
terima.


“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga
mereka mau mengubah nasib mereka sendiri.”
(QS Ar Ra’ad; 11)

Akhirnya, tepat pada 17 Agustus 2004, saya memutuskan untuk keluar dari
perusahaan terakhir tempat saya bekerja. Posisi saya di perusahaan itu sedang
empuk-empuknya. Selain menjadi eksekutif terpercaya, kenaikan gaji saya juga
selalu signifikan. Saya tinggalkan semua kenyamanan, demi menghadang resiko
lagi. Perhitungan saya, kemenangan akan berpihak kepada saya.

Lepas dari status profesional dan resmi jadi pengusaha merdeka tentu sangat
memacu adrenalin. Tapi ternyata perasaan itu hanya sesaat. Begitu bisnis saya
mulai bergulir, saya justru merasa jauh dari kemerdekaan. Entah berapa kali
saya mengalami kegagalan, saya tak ingat lagi. Saya mencoba bersabar, dan
berharap keadaan membaik. Sementara itu, saya terus menjalaninya dan terus
berusaha. Puncaknya, setelah jatuh bangun selama 5 tahun saya justru terjebak
utang hingga Rp 62 miliar. Di saat terhimpit itu, keyakinan saya tetap kuat. Orang
yang sekarang sukses dan hidup kaya, pasti pernah bahkan sering mengalami
kegagalan.

Saat itu, dalam menghadapi resiko demi resiko, saya tidak melakukannya dengan
membabi buta. Ada beberapa langkah yang saya lakukan untuk memperoleh
low risk high return. Sebelum mengambil keputusan yang bisa mendatangkan
resiko, saya akan mempertimbangan pertanyaan berikut :

• Apakah ada resiko saya harus melanggar aturan agama? Sebelum yang
lain-lain, saya harus pastikan bahwa keputusan bisnis yang saya lakukan
sesuai dengan kaidah agama. Saya sudah harus bisa memperkirakan apakah
di tahap tertentu, saya harus melakukan kecurangan agar bisnis saya maju?
Apakah saya harus mendzalimi orang lain? Apakah saya akan terlibat riba?
Jika ada, maka saya wajib berhenti, dan menjajal peluang lain. Jika saya bisa
memastikan bahwa semua tahap berada di koridor agama, maka akan saya
lanjutkan ke pertanyaan berikutnya.

• Apa yang bisa saya lakukan untuk menekan resiko? Pengusaha pasti
paham bahwa resiko itu kadang jelas terlihat sejak awal, kadang muncul
begitu saja. Apa yang saya akan lakukan jika muncul resiko yang tidak diduga?
Misalnya, saya memutuskan untuk membuka gerai makanan beku buatan
rumah. Resiko yang saya perkirakan adalah kalah bersaing dengan kompetitor
yang sudah mapan. Mungkin saya sudah punya strategi menghadang resiko
ini. Bagaimana dengan resiko kenaikan tarif dasar listrik yang mendadak
diterapkan untuk industri rumah?

• Sebelum mengambil RESIKO, tanyakan :
• Apakah ada resiko saya harus melanggar aturan agama?
• Apa yang bisa saya lakukan untuk menekan resiko?
• Apakah saya punya rencana cadangan?
• Bagaimana kemungkinan gagalnya?
• Sejauh apa saya sanggup menghadapi resiko?
• Apa pendapat mentor saya?
• Apa kata naluri saya?

• Apakah saya punya rencana cadangan? Jelas, saat menjalankan sebuah
keputusan yang berasal dari pertimbangan matang, saya wajib optimis.
Namun demikian, rencana cadangan pun wajib saya siapkan bersamaan. Jadi
begitu rencana utama gagal, maka rencana cadangan tersebut bisa langsung
digunakan.

• Bagaimana kemungkinan gagalnya? Pertanyaan ini sering menjebak para
pengusaha, dan banyak yang tak mau menjawabnya dengan jujur. Jika saya
menemukan peluang yang menjanjikan resiko nol, maka saya wajib berhatihati.
Jika saya tak bisa menemukan resiko kegagalan yang mungkin muncul,
berarti saya belum tahu banyak tentang bidang itu. Saya harus ingat bahwa
semua peluang bisnis pasti ada resikonya.

• Sejauh apa saya sanggup menghadapi resiko? Ada pengusaha yang berani
menghadang resiko apapun setiap tahun, ada yang lebih sering, ada juga yang
hanya berani seumur hidup sekali. Bagaimana perasaan saya setelah mengambil
keputusan? Jika keputusan itu membuat tekanan darah saya terus naik, maka
saya tak akan mengambil resiko serupa di kemudian hari. Itu pertanda saya
tak sanggup menghadangnya. Saya harus turunkan spesifikasinya. Caranya,
perkecil nominal rupiah yang dilibatkan, dan lakukan dalam jeda waktu yang
lebih lama. Misalnya, jika menambah toko baru setiap enam bulan membuat
saya gelisah, maka saya akan menambah toko baru setahun sekali saja. Jika
tensi saya sudah stabil, mungkin saya akan mencobanya lagi enam bulan
sekali, dan lihat akibatnya. Yang bisa menentukan kesanggupan saya adalah
diri saya sendiri.

• Apa pendapat mentor saya? Kita sudah membahas perlunya mentor di
bagian sebelumnya. Dalam mengambil keputusan yang beresiko, saya perlu
mendengarkan pandangan orang-orang yang berpengalaman di bidang yang
hendak saya jajal. Bukan berarti saya jadi tak punya pandangan sendiri dan
sepenuhnya menuruti mereka. Saya tetap bisa melakukan improvisasi dengan
cara yang benar. Yang saya perlukan adalah informasi yang memadai dari sudut
pandang pengetahuan dan pengalaman mereka. Semua informasi itu akan
membantu saya menentukan keputusan yang tepat, dan siap menghadapi
resiko yang mungkin muncul.

• Apa kata naluri saya? Jika saya sudah berkali-kali gagal, maka secara sadar
maupun tidak, saya jadi tahu gejala-gejala sebelum kegagalan itu terjadi.
Naluri saya juga bisa memberitahu, bahwa bisnis ini cocok dengan saya atau
tidak. Jika saya merasa punya pengetahuan dan pengalaman yang memadai,
maka saya bisa mendengarkan naluri saya. Namun, jika naluri dan logika
saya berlawanan, saya akan segera berhenti berhenti. Kemungkinan besar,
penyebabnya adalah penggalan informasi yang belum saya ketahui. Saya akan
lebih banyak mencari informasi, sebelum membawa bisnis saya menghadang
resiko.

Setelah Anda menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, apakah dijamin akan
berhasil? Tentu tidak. Jika ada jaminan berhasil, bukan resiko namanya. Namun
dengan memastikan ketujuh pertanyaan tersebut, maka Anda memperkecil
resiko dan memperbesar peluang. Jika pun Anda tetap gagal, maka Anda akan
mampu menghadapi resiko tersebut tanpa guncangan besar dalam kehidupan
Anda. Di sisi lain, Anda akan memperoleh pengalaman berharga yang
mempertajam tindakan Anda ke depan. Karena keberhasilan tidak selalu berupa
angka, dan tidak selalu dipanen saat ini juga!.

Cepat atau lambatnya sebuah masalah selesai bukan tergantung dari besar
atau kecilnya masalah itu sendiri, namun tergantung bagaimana cara kita
melihat masalah itu
Baca Juga :