Wednesday, July 5, 2017

Strategi Membangun Kekakayan Tanpa Riba part9

PERTANYAAN 9
DI LEVEL MANAKAH ANDA BERMAIN?

Anda masih ingat suasana Krisis Moneter 1997? Harga barang melambung,
sejumlah perusahaan besar gulung tikar, dan banyak orang terancam jadi
pengangguran. Di saat itulah, Indonesia panen pengusaha dadakan. Orangorang
yang terkena PHK banting stir menjadi pengusaha karena terdesak
kebutuhan. Tak ada yang salah dengan pilihan menjadi pengusaha. Hanya saja,
mereka cenderung memulai bisnis tanpa rencana yang matang, tanpa tujuan
yang jelas selain menjaga stabilitas ekonomi.

Akhirnya, dengan pesangon yang ada, mereka bergegas menciptakan bisnis
dengan tujuan segera mendatangkan penghasilan. Yang penting cari untung
dulu, rencana dan pengelolaan bisnis bisa menyusul. Bisnis segera meluncur
bebas, karena biasanya modal tersedia dari pesangon. Dan setelah beberapa
saat, terlihatlah bahwa mereka cenderung gagal mengendalikan biaya
operasional. Mereka tak bahkan tahu pasti apakah uang yang mereka peroleh
adalah penghasilan yang sesungguhnya.

Seorang mantan karyawan, misalnya, memutuskan untuk mendirikan sebuah
warnet di teras rumahnya. Dia hanya berpikir singkat: segera menghasilkan
uang. Maka berdirilah warnet dengan desain menarik dan harga sewa bersaing.
Tanpa perlu menunggu lama, uang segera mengalir ke laci mejanya, sehingga dia
yakin bahwa bisnis ini bisa diandalkan. Padahal, tanpa sadar, tabungannya kian
tergerus oleh biaya listrik, gaji karyawan, dan tentu saja pengadaan perangkat
warnet yang tidak murah.Ketika kemudian tabungannya habis, dan penghasilan
warnetnya bahkan tak cukup untuk menutupi biaya operasional, semua sudah
terlambat.

Ada juga orang yang terlalu jatuh cinta dengan ide atau produk bisnisnya.
Mereka berasumsi bahwa datangnya uang itu adalah berkat hasrat berbisnis,
kerja keras, dan berpikir positif. Dia sangat yakin bahwa produknya begitu
istimewa, sehingga tak ada pesaing. Mereka juga yakin bahwa keuntungannya
akan terus meningkat, sementara pengeluaran akan tetap bahkan menurun.
Ketika dugaan mereka salah, uang yang tertanam di bisnis yang “istimewa” tadi
tak bisa dia tarik lagi. Belum lagi jika kita mau kembali membahas gaya hidup
orang-orang yang ingin terlihat sukses. Pengusaha yang mengalami bulan madu
dengan bisnis barunya ingin segera terbang. Terlalu jelas akibatnya: terlihat kaya
dan segera ambruk dalam hitungan waktu tak terduga.

Kini, tibalah kita pada pertanyaan pamungkas. Di level manakah Anda akan
bermain? Apakah Anda akan bermain di level para pengusaha dadakan yang
bermental miskin? Yang tak punya tujuan lain kecuali menghasilkan uang untuk
menyambung hidup? Atau, Anda memutuskan untuk bermain di level orang
kaya? Yang memiliki rencana jelas, tim yang solid, etos kerja yang baik, dan tata
nilai yang kuat? Apakah Anda cukup sabar untuk menahan diri dari keinginan
terlihat kaya dan terlihat sukses?

Bagaimana dengan riba? Jika uang riba disodorkan kepada Anda, di saat Anda
sangat membutuhkan dana untuk menyelamatkan bisnis, apakah Anda akan
menerimanya dengan sejuta dalih? Bisakah Anda memutuskan untuk tetap
bermental kaya, dan tetap bermain di level orang kaya, walau sesedikit apapun
uang di saku Anda?

Islam sangat peduli terhadap kemiskinan, dan menyeru ummatnya
agar melepaskan diri dari belenggu kemiskinan.

Semua pertanyaan itu menyodok eksistensi kita. Semua jawabannya
menunjukkan, di mana sebenarnya kita sedang berada. Di kelompok orang
miskin, atau orang kaya. Bagaimana akhir kehidupan seseorang ditentukan
oleh cara dia bermain hari ini. Jika hari ini dia bermain seperti orang miskin,
walaupun berlimpah materi, maka di akhir kehidupannya dia akan tetap miskin.
Sebaliknya, orang yang hari ini terlihat biasa-biasa saja, jika dia terus bermain
seperti orang kaya, dia akan berakhir menjadi orang kaya. It’s a matter of how
you play.

Besar kecilnya pendapatan seseorang di dalam hidup dan bisnisnya juga
ditentukan oleh bagaimana dia bermain. Coba Anda perhatikan karakter tiga
pengusaha yang saya sebutkan di atas bersikap. Mantan karyawan dengan
warnetnya, pengusaha yang begitu cinta dengan produknya, dan orang yang
gagal mengendalikan gaya hidupnya. Sikap ketiganya berasal dari mentalitas
orang miskin: takut kehilangan harta, terlalu yakin bahwa dia pasti berhasil,
dan ingin terlihat kaya. Karena itu, di akhir hidupnya pun, dia akan menjalani
kehidupan yang serba kekurangan.

Lantas, pernahkah Anda bertanya, mengapa manusia di muka bumi ini bisa
berbeda-beda kualitas hidupnya? Padahal, kita hidup di bumi yang sama,
menghirup udara yang sama. Apakah ada peran Tuhan di sana? Apakah Tuhan
hanya menciptakan orang-orang tertentu untuk menjadi kaya sedangkan orang
yang lain diciptakan untuk menjadi miskin?

Besar kecilnya pendapatan seseorang di dalam hidup dan bisnisnya juga
ditentukan oleh bagaimana dia bermain.

Ternyata, Tuhan memberikan rezeki kepada manusia sesuai tingkat bagaimana
mereka bermain. Ada, 4 tingkatan rezeki yang bisa diperoleh manusia. Setiap
level rezeki ini memiliki kualifikasi yang berbeda dari segi jumlah maupun siapa
saja yang berhak mendapatkannya. Coba kita lihat, rezeki level mana yang
menjadi hak kita.

• Level 1, rezeki makhluk. Ini adalah rezeki level terbawah. Rezeki ini dicurahkan
oleh Allah swt bagi semua mahkluknya. Orang yang lahir di Cianjur dijamin
rezekinya, orang yang lahir di Jakarta dijamin rezekinya, yang di tengah kota,
yang kampung, di tengah hutan semua dijamin rezekinya. Bahkan orang yang
tinggal di tempat yang sangat terpencil seperti di kutub utara pun tidak luput
dari jaminan Allah swt. Nah, rejeki pada tingkat ini tidak perlu dikhawatirkan,
karena Dia tidak memilih apakah seseorang itu rajin, atau malas. Semua
diberiNya rezeki. Orang yang sedang terbaring sakit dan tak bisa keluar dari
rumah pun memiliki rezeki di tingkat ini. Dan bukan hanya manusia yang
dijamin, tetapi semua makhluk, termasuk tumbuh-tumbuhan dan binatangbinatang.

Mari kita belajar bagaimana seekor cicak memperoleh rezeki. Cicak adalah
binatang yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk merayap di
dinding. Dia hanya bisa merayap, tidak bisa melompat jauh apalagi terbang.
Padahal, makanan cicak adalah nyamuk yang terbang kesana kemari. Coba
pikirkan, betapa sulitnya kita menangkap satu ekor nyamuk. Tapi cicak selalu
bisa menyantap nyamuk, dan bisa bertahan hidup. Inilah pelajaran kepada
kita, bagaimana Allah swt menjamin rejeki bagi kita semua, yaitu rezeki yang
disediakan untuk semua makhluk yang diciptakanNya, tanpa kecuali.

• Level 2, rezeki orang yang berusaha. Orang yang berada di level ini akan
memperoleh rezeki sesuai dengan yang diusahakannya. Jika dia bekerja 8 jam
sehari, maka penghasilan yang diterimanya akan lebih besar daripada orang
yang bekerja 3 jam sehari. Seorang sarjana lazimnya punya rezeki lebih besar
daripada lulusan sekolah dasar. Orang yang giat akan memperoleh hasil yang
lebih banyak.

Indonesia mulai membangun negara dalam waktu yang bersamaan dengan
Jepang, yaitu mulai Agustus 1945. Bedanya, kita memulainya dengan sebuah
sejarah gemilang, karena berhasil keluar dari penjajahan yang beratus tahun
lamanya. Sedangkan Jepang harus memulainya dengan keadaan muram
karena terpuruk akibat bom atom yang dijatuhkan oleh sekutu di Nagasaki
dan Hiroshima. Namun apa yang kita lihat sekarang. Jepang yang saat itu
diperkirakan sudah berakhir sejarahnya, kini justru menguasai dunia dengan
cara yang lain. Produknya ada di seluruh dunia, dan Jepang telah tumbuh
menjadi salah satu negara dengan kekuatan ekonomi yang sangat besar.
Sedangkan Indonesia yang pada saat itu diperkirakan akan menjadi macan
asia, ternyata hari ini masih berkutat dengan berbagai masalah kemiskinan
di negeri sendiri. Pertanyaannya adalah, apakah Allah lebih memberkahi
Jepang daripada Indonesia? Inilah yang disebut dengan rezeki level 2. Jepang
meraih kehidupan ekonomi yang jauh lebih baik karena mereka bekerja
lebih keras daripada kita. Mereka membuat aneka kendaraan sedangkan kita
tidak, mereka memproduksi alat-alat elektronik sedangkan kita tidak, mereka
membangun infrastrukur sedangkan kita tidak. Intinya mereka bekerja lebih
keras daripada kita, maka pantaslah mereka memperoleh rezeki yang lebih banyak.

Kenyataannya, terlepas dari seberapa keras dan seberapa cerdas seseorang
dalam bekerja, ternyata 99% manusia berada pada level ini. Mereka
memperoleh rezeki melalui kerja keras. Semakin besar hasil yang mereka
peroleh, makin banyak waktu, tenaga, dan pikiran yang harus dia curahkan.
Orang di level ini mungkin memiliki penghasilan yang sangat tinggi, tapi
banyak di antara mereka yang hidupnya sangat sibuk dan melelahkan. Bahkan
bisa jadi, orang seperti ini tak memiliki kehidupan. Waktunya seolah terjerat
dengan apa yang harus diusahakannya. Orang yang hanya berhenti bermain
di level ini hidupnya sangat capek!

How you care to others will define your business’ success. Sukses bisnis
ditentukan oleh bagaimana kita menolong orang lain. Ucapan sahabat
saya Pengusaha di Amerika, Randall Book, selalu saya ingat. Dalam
kehidupan sosialnya, pengusaha tambang emas, pemilik Westin Hotel
Detroit , dan pemain property terkemuka di Detroit ini adalah Presiden
Yayasan Kanker Amerika yang telah menolong ratusan ribu penderita
kanker di Amerika. Ketika saya ajak ke Indonesia, dihadapan para
Pengusaha di bandung Randy -begitu dia akrab disapa- berbagi tentang
bagaimana dia mengelola dan menghargai uang. Sebuah koin 1 sen
baginya sangat berharga, dan dia tidak segan-segan memungut dan
menyimpannya. Big always start from small. The way you do
something is the way you do everything tegasnya.

• Level 3, rezeki orang yang bersyukur. Orang yang berada di level ini
memperoleh hasil jauh lebih tinggi dari apa yang dikerjakannya. Mereka
adalah orang-orang yang memahami bahwa di dalam harta yang mereka
miliki terdapat hak orang lain. Mereka adalah orang-orang yang hidup
hatinya, dan selalu membantu orang lain dalam keadaan lapang dan sempit.
Mereka berkeyakinan kuat bahwa jika saya hanya memikirkan diri sendiri,
maka persoalan yang saya hadapi tidak akan pernah selesai. Namun jika saya
mau memikirkan dan menolong orang lain, maka persoalan saya akan Allah selesaikan.

Jepang meraih kehidupan ekonomi yang jauh lebih baik karena
mereka bekerja lebih keras daripada kita.

Di New York, dulu ada orang yang bernama Rockefeller. Dia dijuluki The
Unexpected Hero, pahlawan yang tidak disangka-sangka kehadirannya.
Julukan itu dia peroleh karena pada saat krisis ekonomi melanda Amerika,
ketika terjadi kebangkrutan di mana-mana, PHK besar besaran, masyarakat
kesulitan membeli kebutuhan hingga makanan, Rockefeller justru melakukan
hal yang sebaliknya. Dia memberikan bantuan secara luas, memberikan
makanan kepada orang-orang yang membutuhkan. Pendek kata, apa yang
bisa dia lakukan dengan hartanya untuk menolong orang lain maka akan
dia lakukan pada saat itu. Apa sesungguhnya yang menggerakkan seorang
Rockefeller untuk melakukan semua itu?

Ketika di New York, saya dengan istri berkesempatan masuk ke perkantoran
milik keluarga Rockefeller. Di dalam gedung, di tingkat atas, saya membaca
sebuah tulisan yang saya ingat sampai hari ini. “Tuhan memberi banyak kepada
yang membutuhkan banyak!” Tulisan itu ditulis oleh mendiang Rockefeller.
Luar biasa sekali orang ini, pikir saya. Jika kita hanya peduli dengan diri sendiri,
artinya kita hanya membutuhkan sedikit. Namun jika kita mau mengurus
orang lain, maka yang kita butuhkan banyak. Memang banyak orang pelit
yang hartanya terlihat banyak. Namun, jika kita telisik lebih dalam, ternyata
harta yang banyak belum tentu mendatangkan kehidupan yang lapang. Ada
saja persoalan yang harus mereka hadapi. Karena kaya dan miskin bukanlah
sekedar harta banyak atau sedikit, tapi lebih berupa kehidupan yang lapang
atau sempit.

Lihatlah siapa 10 orang terkaya di dunia, mereka adalah orang-orang yang
sangat istimewa dalam bersedekah. Semua bangsa dan agama di dunia
percaya bahwa bersedekah tidak akan mengurangi harta. Sebaliknya, sedekah
akan membuat harta kian subur, makin berkah, dan bertambah banyak.
Sayangnya, hanya sedikit orang yang mau meyakini dan melakukannya.


“Tuhan memberi banyak kepada yang membutuhkan banyak!”

• Level 4, rezeki orang yang bertaqwa. Level rezeki ini diberikan kepada orangorang
yang dalam hidupnya tak pernah ada rasa rasa takut dan khawatir.
Kedekatannya dengan Allah swt membuat banyak masalah yang seharusnya
dia hadapi jadi diambil alih. Rezeki orang yang ada di level ini berasal dari
arah yang tidak disangka-sangka. Apakah mudah memperoleh rezeki ini?
Saya tak hendak menjawabnya. Hanya saja, orang di level ini memiliki hati,
pikiran, ucapan dan tindakan yang sangat terjaga. Kehidupannya sebagai
hamba dia dedikasikan untuk berjuang dengan harta dan jiwa. Rezekinya
sudah tak terukur, tak terbatas. Dia sangat paham dan pernah menjalani 3
level rezeki sebelumnya. Masalahnya, banyak orang merasa berada di level 4,
padahal sebenarnya dia adalah pemalas di level 1, yang hanya berdoa namun
meninggalkan ikhtiar, kemudian mengharapkan uluran tangan orang lain.
Selain itu, orang di level 4 juga bukan orang-orang yang kikir. Orang yang
masih kikir berada pada level 2, karena dia merasakan beratnya bekerja demi
memperoleh penghasilan. Akibatnya, dia merasa sayang jika harus membagi
hasil jerih payahnya itu dengan orang lain. Orang-orang yang memiliki rezeki
di level 4 ini adalah pekerja keras dan selalu mengukir prestasi.Beberapa
rekan yang datang kepada saya dalam keadaan terlilit utang bertahun-tahun.
Awalnya, mereka merasa sudah tidak ada jalan keluar. Faktanya, banyak di
antara mereka yang berhasil bangkit, kembali memiliki bisnis, dan meraih
kehidupan yang lebih baik. Apa yang mereka lakukan?

Mereka bermain di level empat. Dan salah satu disiplin yang harus mereka
genggam erat untuk memperoleh rezeki level ini adalah taat kepada ketentuan
agama. Tindakan yang paling nyata adalah meninggalkan semua bisnis dan
transaksi yang melibatkan uang riba. Mengapa? Karena kita tak akan pernah
kaya dengan riba. Bisnis yang mengandalkan riba hanya menghasilkan
keuntungan dan kesuksesan semu. Perjalanan hidup pelakunya—pemberi,
pengguna, dan perantaranya—akan berakhir dengan masalah besar.

Dalam sebuah wawancawa, seorang konglomerat di negeri ini ditanya
oleh wartawan, “Om, usia Om sudah sangat lanjut. Kok masih mau bekerja
mengurusi bisnis?” Konglomerat itu menjawab “Iya. Soalnya utang saya masih
banyak.”

Bisnis dengan menggunakan uang riba memang menggiurkan. Modal besar
bisa Anda peroleh dalam waktu singkat, dan persyaratan yang sangat ringan.
Ketika saya memutuskan untuk meninggalkan riba, seorang rekan bisnis
bertanya, “Mengapa meninggalkan riba? Apakah bisnis yang non riba itu
lebih besar peluang untungnya?” Teman saya itu salah duga. Saya memang
pebisnis, tapi saya tak melulu mengejar keuntungan. Saya memutuskan
untuk meninggalkan riba dan memilih bisnis yang sesuai dengan tuntunan
agama bukan demi uang yang lebih besar, melainkan sesuatu yang jauh lebih
berharga: saya ingin selamat!

Bisnis yang mengandalkan riba hanya menghasilkan keuntungan dan
kesuksesan semu. Perjalanan hidup pelakunya—pemberi, pengguna, dan
perantaranya—akan berakhir dengan masalah besar.

Riba dengan berbagai wajahnya—kartu kredit, bank abal-abal, kredit tanpa
agunan, hingga yang terang-terangan menyebut diri rentenir—memang
memikat banyak orang. Dalam kondisi terdesak, dengan mentalitas dan
karakter miskin yang melekat, maka sesuatu yang jelas-jelas dilarangpun akan
ditabrak. Selanjutnya, begitu menyentuh riba, maka yang tertanam dalam diri
adalah semangat bahwa saya harus kaya, saya harus untung, tak peduli jika
saya harus menindas orang lain. Tuntutan pengembalian dengan bunga yang
sangat tinggi membuat kita dipacu untuk menghasilkan angka yang jauh
lebih besar. Jadi, riba adalah sebuah manifestasi dari keserakahan. Riba alat
untuk menindas dan menjajah orang lain.

Lain halnya dengan bisnis yang dikelola berdasarkan nilai-nilai agama yang
mulia. Dengan berpegang teguh pada agama, maka bisnis saya membawa
semangat keadilan, kejujuran, keterbukaan, dan saling tolong menolong.
Melalui bisnis ini saya tak pernah merasa takut kekurangan, karena Allah
menjamin rezeki saya akan mengalir dari arah yang tidak saya sangka-sangka.

Jadi, di level berapa anda bermain?

Baca Juga :
Strategi Membangun Kekakayan Tanpa Riba part7

Sunday, July 2, 2017

Strategi Membangun Kekakayan Tanpa Riba part8

PERTANYAAN 8
BAGAIMANA CARA ANDA MENYIKAPI RESIKO?

Coba Anda ingat kembali. Sepanjang hidup, berapa kali Anda mengambil
keputusan yang beresiko? Apa yang kemudian terjadi? Sejauh mana resiko itu
mempengaruhi kehidupan Anda? Pertanyaan kita yang ke delapan berkaitan
dengan keberanian mengambil resiko. Anda tentu bisa membedakan antara
perbuatan konyol dengan keberanian mengambil resiko. Tindakan konyol
selalu didorong oleh nafsu dan emosi, sehingga pelakunya tak peduli dengan
pertimbangan apapun. Orang yang menyambar semua peluang bisnis tanpa
mengukur kemampuan diri bukanlah orang yang berani. Dia bertindak konyol,
dan sedang mempertaruhkan reputasinya sendiri.

Lain halnya dengan orang yang berani mengambil risiko. Sebelum mengambil
langkah, dia akan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Dia akan berlatih
menajamkan intuisinya, juga melakukan improvisasi, sejauh dia bisa
mengendalikan situasinya. Ketika seseorang banyak berlatih dan berimprovisasi,
maka lahirlah keterampilan dan sense yang tajam dalam berbisnis.

Mengambil resiko adalah bagian integral dari bisnis maupun kehidupan. Resiko
adalah bagian dari hidup. Lantas, mengapa kata “resiko” lebih sering berkonotasi
negatif, bahaya, kerugian, bahkan ancaman kegagalan? Alasannya sederhana:
hanya sedikit orang yang bisa mengelola resiko dengan cara yang benar. Orang
cenderung melihat aspek negatif dari resiko. Mereka lupa bahwa resiko juga
punya aspek positif seperti lompatan penghasilan, dan yang paling jelas adalah
pengetahuan atau pengalaman.

Semua orang kaya dan pelaku bisnis yang berkualitas adalah orang-orang
yang berani mengambil risiko. Keberhasilan mereka bukanlah hasil untunguntungan.
Orang bermental kaya tak pernah tertarik dengan permainan
tebak-tebak berhadiah. Setiap resiko yang mereka ambil selalu diiringi dengan
berbagai latihan, dipadukan dengan improvisasi yang penuh perhitungan.
Ketika memulai usaha, dia memutuskan untuk siap menerima resiko apapun,
termasuk kegagalan terpahit sekalipun. Ketika sebuah keputusan dijalankan, dan
hasil yang diharapkan tak segera terlihat, dia bersabar. Begitu resiko pertama
muncul, dia pun tak lantas berkecil hati. Resiko-resiko berikutnya dia pelajari,
hingga setelah ke sekian kali gagal, dia menuai sukses. Peluang besar yang
selalu menyertai setiap resiko inilah yang membuat pengusaha selalu berani
menghadangnya.

Menandatangani kontrak besar, menjalin kerja sama dengan mitra, melakukan
investasi, hingga melakukan ekspansi ke pasar yang lebih luas berarti
menempatkan usahanya di tempat yang bukan lagi status quo. Perubahan
demi perubahan akan menyertai setiap keputusan yang diambilnya. Dan itu
mengandung resiko, sekaligus memberikan peluang.

Menghadapi resiko adalah kemestian kehidupan. Artinya, berani atau tidak
berani, semua manusia selalu berhadapan dengan resiko. Dalam keseharian
mereka, resiko selalu hadir dalam berbagai bentuk. Ketika Anda memutuskan
untuk menunda cicilan kendaraan karena uangnya hendak dialokasikan untuk
keperluan lain yang lebih mendesak, Anda sedang mengambil resiko. Bahkan
ketika Anda memilih mengenakan kaus dan bukan kemeja hari ini, pasti ada
resiko yang sudah Anda perhitungkan. Disadari atau tidak, semua orang
pasti berhadapan dengan hukum sebab akibat. Apapun perbuatan Anda pasti
mengundang resiko tertentu—yang baik dan yang buruk.

Mengambil resiko adalah bagian integral dari bisnis maupun kehidupan.
Resiko adalah bagian dari hidup.

Jadi, kemampuan mengambil resiko itu sebenarnya inheren dalam diri kita
masing-masing. Yang membedakannya adalah porsi latihan yang dilakukan
oleh masing-masing individu. Mayoritas orang cenderung untuk memilih hidup
aman di masa sekarang, tanpa peduli apakah di masa datang mereka juga
aman. Yang penting sekarang senang, besok urusan belakangan. Sayang sekali.

Memang, tak ada yang salah dengan pilihan hidup nyaman di masa sekarang.
Yang perlu dipertimbangkan dengan cermat adalah resiko di masa depan. Jika
kita tahu bahwa pilihan ini akan membahayakan masa depan, maka langkah
yang paling bijak adalah mengantisipasinya mulai dari sekarang.

Menurut saya, cara yang terbaik untuk menghindari resiko adalah dengan
mengambil resiko itu sendiri. Artinya, untuk menghindari resiko di masa depan,
maka langkah yang terbaik adalah mengambil resiko itu saat ini. Dengan begitu,
setidaknya kita bisa memprediksi apa yang akan terjadi lima atau 10 tahun
mendatang, berdasarkan kondisi yang sedang kita jalani sekarang. Jika kita
cemas menghadapi resiko tersebut dalam 5 atau 10 tahun mendatang, maka
langkah yang terbaik adalah bersikap seolah resiko itu sudah berlaku sekarang.
Berpikir lima hingga sepuluh tahun ke depan adalah kunci untuk mengelola
resiko dan menjadikannya peluang.

Jika kelakuan saya saat ini akan membuat saya terlilit utang riba lima tahun
mendatang, maka sebaiknya saya mengambil resiko itu sekarang. Apa yang
harus saya lakukan? Keputusan apa yang harus saya ambil SAAT INI agar lima
tahun mendatang saya tak perlu terlibat riba?

Sayangnya, kenyataan yang sering saya temui adalah: lebih banyak orang yang
memilih menghindari risiko karena takut akan kehilangan sesuatu. Padahal,
berdiam diri bukan hanya membuat bisnis Anda stagnan, tapi juga terancam
runtuh. Tanpa keberanian mengambil resiko, Anda akan segera dilibas oleh
kompetitor yang lebih dinamis di pasaran. Mereka tak memahami, bahwa
ketakutan itu adalah ilusi—yang lagi-lagi berasal dari karakter miskin. Dan ilusi
itu akan lenyap begitu sebuah tindakan nyata dilakukan.

Coba kita perhatikan, bagaimana orang-orang kaya menghadang resiko. Mereka
berpikir, bahwa resiko sebuah keputusan bisnis adalah menjadi orang miskin,
atau menjadi orang yang lebih kaya lagi. Mereka tak menghindari resiko, dan
memilih menjalaninya dengan kalkulasi yang tepat. Mereka cerdik mengambil
resiko yang rendah dengan peluang keberhasilan yang tinggi. Anggapan
kebanyakan orang bahwa high risk akan menghasilkan high reward sama sekali
tidak berlaku bagi mereka. Penghasilan yang tinggi tidak selalu diperoleh
dengan resiko yang tinggi. Orang bermental kaya akan memilih low risk dengan
high reward.

Cara yang terbaik untuk menghindari resiko adalah dengan mengambil
resiko itu sendiri.

Sebagai pengusaha, saya juga berkali-kali berhadapan dengan resiko. Sebelum
mendirikan Balimuda, saya bekerja di sebuah perusahan distributor alat berat
selama lima tahun, kemudian pindah ke perusahaan distributor mobil. Di tahun
pertama, jabatan saya supervisor tentu dengan penghasilan tingkat supervisor
dan masih dengan jabatan supervisor di tahun ke lima maka tahun 2000, saya
memutuskan keluar dari perusahaan ini.

Sahabat saya sesama supervisor berkata, “Berani banget kamu! dalam kondisi
ekonomi sulit seperti ini, kamu ambil resiko meninggalkan posisi mapan di sini.”
Tentu Anda juga ingat, tahun 2000 memang berat. Selain akibat krisis global,
perekonomian Indonesia masih mencari bentuk setelah reformasi dan huru hara
ekonomi politik tahun 1998.

Kepadanya saya katakan, ”Sebenarnya kamu yang berani, kok mau bertahan
disini?” Mengapa saya berkata seperti itu? Karena dalam banyak hal, saya dan
dia sudah bisa memprediksikan karir yang akan mandeg pada posisi paling
tinggi sebagai manajer, tidak peduli sehebat apapun kami bekerja. Dugaan
kami benar. 15 tahun kemudian, saya bertemu dengan sahabat saya tadi, dan
jabatannya masih supervisor.

Maka pada tahun 2000 itu, saya putuskan keluar dan bergabung di sebuah grup
perusahaan tanah air, yang salah satu anak usahanya adalah televisi swasta
nasional. Ketika baru bergabung, tekad saya sudah jelas: lima tahun ke depan,
saya harus keluar dan mempunyai usaha sendiri.

Tahun kedua di perusahaan baru, saya mulai merintis usaha sendiri. Di sela
kesibukan saya sebagai karyawan, saya menekuni usaha penyewaan alat berat
untuk pertambangan di kawasan Yogyakarta. Saya memilih alat berat karena
setidaknya saya punya pengetahuan di bidang ini, saat saya bekerja di distributor
alat berat. Jadi, saya memang mengambil resiko, tapi tidak asal bikin bisnis. Saya
memilih bisnis yang saya kenal dengan baik.

Resiko pilihan saya adalah bekerja lebih keras, karena harus menghadapi dua
pekerjaan sekaligus. Saya punya usaha baru yang perlu pengawasan penuh,
sekaligus menjadi karyawan. Berat memang, tapi itu resiko yang harus saya
terima.


“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga
mereka mau mengubah nasib mereka sendiri.”
(QS Ar Ra’ad; 11)

Akhirnya, tepat pada 17 Agustus 2004, saya memutuskan untuk keluar dari
perusahaan terakhir tempat saya bekerja. Posisi saya di perusahaan itu sedang
empuk-empuknya. Selain menjadi eksekutif terpercaya, kenaikan gaji saya juga
selalu signifikan. Saya tinggalkan semua kenyamanan, demi menghadang resiko
lagi. Perhitungan saya, kemenangan akan berpihak kepada saya.

Lepas dari status profesional dan resmi jadi pengusaha merdeka tentu sangat
memacu adrenalin. Tapi ternyata perasaan itu hanya sesaat. Begitu bisnis saya
mulai bergulir, saya justru merasa jauh dari kemerdekaan. Entah berapa kali
saya mengalami kegagalan, saya tak ingat lagi. Saya mencoba bersabar, dan
berharap keadaan membaik. Sementara itu, saya terus menjalaninya dan terus
berusaha. Puncaknya, setelah jatuh bangun selama 5 tahun saya justru terjebak
utang hingga Rp 62 miliar. Di saat terhimpit itu, keyakinan saya tetap kuat. Orang
yang sekarang sukses dan hidup kaya, pasti pernah bahkan sering mengalami
kegagalan.

Saat itu, dalam menghadapi resiko demi resiko, saya tidak melakukannya dengan
membabi buta. Ada beberapa langkah yang saya lakukan untuk memperoleh
low risk high return. Sebelum mengambil keputusan yang bisa mendatangkan
resiko, saya akan mempertimbangan pertanyaan berikut :

• Apakah ada resiko saya harus melanggar aturan agama? Sebelum yang
lain-lain, saya harus pastikan bahwa keputusan bisnis yang saya lakukan
sesuai dengan kaidah agama. Saya sudah harus bisa memperkirakan apakah
di tahap tertentu, saya harus melakukan kecurangan agar bisnis saya maju?
Apakah saya harus mendzalimi orang lain? Apakah saya akan terlibat riba?
Jika ada, maka saya wajib berhenti, dan menjajal peluang lain. Jika saya bisa
memastikan bahwa semua tahap berada di koridor agama, maka akan saya
lanjutkan ke pertanyaan berikutnya.

• Apa yang bisa saya lakukan untuk menekan resiko? Pengusaha pasti
paham bahwa resiko itu kadang jelas terlihat sejak awal, kadang muncul
begitu saja. Apa yang saya akan lakukan jika muncul resiko yang tidak diduga?
Misalnya, saya memutuskan untuk membuka gerai makanan beku buatan
rumah. Resiko yang saya perkirakan adalah kalah bersaing dengan kompetitor
yang sudah mapan. Mungkin saya sudah punya strategi menghadang resiko
ini. Bagaimana dengan resiko kenaikan tarif dasar listrik yang mendadak
diterapkan untuk industri rumah?

• Sebelum mengambil RESIKO, tanyakan :
• Apakah ada resiko saya harus melanggar aturan agama?
• Apa yang bisa saya lakukan untuk menekan resiko?
• Apakah saya punya rencana cadangan?
• Bagaimana kemungkinan gagalnya?
• Sejauh apa saya sanggup menghadapi resiko?
• Apa pendapat mentor saya?
• Apa kata naluri saya?

• Apakah saya punya rencana cadangan? Jelas, saat menjalankan sebuah
keputusan yang berasal dari pertimbangan matang, saya wajib optimis.
Namun demikian, rencana cadangan pun wajib saya siapkan bersamaan. Jadi
begitu rencana utama gagal, maka rencana cadangan tersebut bisa langsung
digunakan.

• Bagaimana kemungkinan gagalnya? Pertanyaan ini sering menjebak para
pengusaha, dan banyak yang tak mau menjawabnya dengan jujur. Jika saya
menemukan peluang yang menjanjikan resiko nol, maka saya wajib berhatihati.
Jika saya tak bisa menemukan resiko kegagalan yang mungkin muncul,
berarti saya belum tahu banyak tentang bidang itu. Saya harus ingat bahwa
semua peluang bisnis pasti ada resikonya.

• Sejauh apa saya sanggup menghadapi resiko? Ada pengusaha yang berani
menghadang resiko apapun setiap tahun, ada yang lebih sering, ada juga yang
hanya berani seumur hidup sekali. Bagaimana perasaan saya setelah mengambil
keputusan? Jika keputusan itu membuat tekanan darah saya terus naik, maka
saya tak akan mengambil resiko serupa di kemudian hari. Itu pertanda saya
tak sanggup menghadangnya. Saya harus turunkan spesifikasinya. Caranya,
perkecil nominal rupiah yang dilibatkan, dan lakukan dalam jeda waktu yang
lebih lama. Misalnya, jika menambah toko baru setiap enam bulan membuat
saya gelisah, maka saya akan menambah toko baru setahun sekali saja. Jika
tensi saya sudah stabil, mungkin saya akan mencobanya lagi enam bulan
sekali, dan lihat akibatnya. Yang bisa menentukan kesanggupan saya adalah
diri saya sendiri.

• Apa pendapat mentor saya? Kita sudah membahas perlunya mentor di
bagian sebelumnya. Dalam mengambil keputusan yang beresiko, saya perlu
mendengarkan pandangan orang-orang yang berpengalaman di bidang yang
hendak saya jajal. Bukan berarti saya jadi tak punya pandangan sendiri dan
sepenuhnya menuruti mereka. Saya tetap bisa melakukan improvisasi dengan
cara yang benar. Yang saya perlukan adalah informasi yang memadai dari sudut
pandang pengetahuan dan pengalaman mereka. Semua informasi itu akan
membantu saya menentukan keputusan yang tepat, dan siap menghadapi
resiko yang mungkin muncul.

• Apa kata naluri saya? Jika saya sudah berkali-kali gagal, maka secara sadar
maupun tidak, saya jadi tahu gejala-gejala sebelum kegagalan itu terjadi.
Naluri saya juga bisa memberitahu, bahwa bisnis ini cocok dengan saya atau
tidak. Jika saya merasa punya pengetahuan dan pengalaman yang memadai,
maka saya bisa mendengarkan naluri saya. Namun, jika naluri dan logika
saya berlawanan, saya akan segera berhenti berhenti. Kemungkinan besar,
penyebabnya adalah penggalan informasi yang belum saya ketahui. Saya akan
lebih banyak mencari informasi, sebelum membawa bisnis saya menghadang
resiko.

Setelah Anda menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, apakah dijamin akan
berhasil? Tentu tidak. Jika ada jaminan berhasil, bukan resiko namanya. Namun
dengan memastikan ketujuh pertanyaan tersebut, maka Anda memperkecil
resiko dan memperbesar peluang. Jika pun Anda tetap gagal, maka Anda akan
mampu menghadapi resiko tersebut tanpa guncangan besar dalam kehidupan
Anda. Di sisi lain, Anda akan memperoleh pengalaman berharga yang
mempertajam tindakan Anda ke depan. Karena keberhasilan tidak selalu berupa
angka, dan tidak selalu dipanen saat ini juga!.

Cepat atau lambatnya sebuah masalah selesai bukan tergantung dari besar
atau kecilnya masalah itu sendiri, namun tergantung bagaimana cara kita
melihat masalah itu
Baca Juga :

Thursday, June 29, 2017

Strategi Membangun Kekakayan Tanpa Riba part7

PERTANYAAN 7
SEBERAPA CERDAS ANDA MENGGUNAKAN DAYA UNGKIT?

Membangun kekayaan yang sesungguhnya selalu berawal dari dalam diri.
Berulang kali kita yakinkan diri bahwa kaya dan miskin adalah karakter. Jadi,
apakah kita hendak jadi manusia kaya atau miskin, mentalitas itulah yang
menentukan.

Setelah selesai dengan diri kita, dengan mentalitas kita, kini saatnya melangkah
keluar. Tahap ini hanya bisa dimanfaatkan secara optimal oleh orang yang sudah
berhasil membangun karakter kaya dalam dirinya. Jadi, setiap tindakan yang
diambilnya adalah tindakan orang-orang yang bermental kaya. Bagaimana
karakter orang kaya yang saya maksud, kita sudah membahasnya hingga
pertanyaan 6. Jadi, harapan saya, mentalitas kaya mulai Anda miliki saat ini, dan
Anda bisa mencoba melakukan leverage. Anda siap? Let’s hit it!

Makna utama dari leverage adalah menggunakan energi dari luar diri kita untuk
membangun kekayaan. Energi dari luar itu bisa berupa modal orang lain, tenaga
orang lain, keahlian orang lain, dan sebagainya. Makna bahasa dari leverage
adalah pengungkit.

Anda pasti tahu dongkrak. Saat mengganti ban, Anda perlu dongrak untuk
mengungkit body mobil yang biasanya berat. Ya, persis! Leverage bisa kita
artikan sebagai daya ungkit. Ketika kita tak bisa mengandalkan tenaga sendiri
untuk mengangkat beban yang berat, maka kita perlu bantuan pengungkit.
Hasilnya, beban yang semula berat jadi bisa kita angkat.

Dalam membangun kekayaan, kita mutlak membutuhkan leverage. Leverage
adalah adalah kunci utama yang menentukan seberapa tinggi kita akan terbang.
Coba Anda perhatikan. Semua orang kaya yang ada di dunia ini menggunakan
leverage dalam membangun bisnis mereka. Tidak ada bisnis yang bisa dibangun
tanpa menggunakan leverage. Nah, masalahnya, seberapa besar dan seberapa
cerdas kita menggunakannya, berbeda satu sama yang lain. Kecerdasan inilah
yang akan menentukan seberapa ringan beban akan kita angkat.

Ketika dibangun pertama kali, Balimuda menggunakan leverage, dan ketika
harus bangkit dari keterpurukan juga menggunakan leverage. Jenis leverage
yang digunakan untuk dua keperluan itu berbeda. Saat pertama kali dibangun,
leverage yang digunakan Balimuda adalah utang bank; ketika bangkit Balimuda
menggunakan leverage yang lain, yaitu uang partner atau investor. Perubahan
leverage ini terjadi karena pada saat bangkit tak ada satupun bank yang mau
memberikan pinjaman kepada Balimuda. Leverage memungkinkan Balimuda
memiliki perkebunan kelapa sawit di beberapa lokasi pada hari ini.

Setelah pelanggan membeli dari Anda, Anda harus mencari cara untuk
meningkatkan ukuran penjualan, dan dengan sendirinya
meningkatkan profitabilitas~ Brian Tracy ~

Jelas, jika saya membangun Balimuda dengan kekuatan dan modal sendiri,
entah berapa puluh tahun saya perlukan hanya untuk sekedar bangkit dari
keterpurukan hutang sebesar Rp. 62 milyar tanpa aset memadai. Mengenang
situasi saat itu masih membuat meremang. Balimuda benar-benar terjepit.
Lebih sesak lagi, beberapa kredit macet membuat akses kami ke perbankan
juga tertutup. Belum lagi debt collector yang terus mengejar saya, perusahaan,
bahkan keluarga, dengan berbagai cara. Situasi sangat mencekik. Tapi kami
sadar sepenuhnya, hanya ada satu pilihan: Balimuda harus bangkit.

Di titik kritis inilah Balimuda yang selama ini dibangun dengan menggunakan
modal bank harus memikirkan cara lain. Intinya, kami harus mencari leverage
bentuk lain yang masih bisa digunakan. Balimuda mencanangkan cita-cita
untuk membangun bisnis perkebunan kelapa sawit, setelah sebelumnya hanya
berperan sebagai kontraktor. Kami perlu daya ungkit untuk bangkit dan kembali
membangun.

Tidak mudah memang. Tapi setelah berjuang, usaha demi usaha mendekati
pemain perkebunan ternama di dunia untuk berpartner dengan Balimuda
akhirnya menunjukkan hasil. Leverage terbukti menjadi energi luar yang tidak
terbatas. Permasalahan utang memang tidak serta merta selesai. Banyak yang
harus diselesaikan dengan negosiasi panjang dan masih terus berproses dalam
jangka panjang. Namun demikian, di sisi lain Balimuda bisa kembali membangun
kehidupannya dengan skala bisnis yang justru lebih besar dari sebelumnya.

Jadi, leverage adalah energi yang ada diluar, yang bisa membantu kita meraih
semua impian. Ada tiga macam leverage yang perlu kita ketahui:

1. Other People’s Money atau OPM
Yang lazim terjadi, kendala yang dihadapi sebagian besar pengusaha saat
membangun bisnis adalah permodalan. Uang tunai adalah unsur yang sangat
penting dalam memulai dan mengembangkan bisnis. Sayangnya, masalah
inilah yang paling sering membuat langkah pengusaha jadi tidak leluasa
bergerak. Solusinya jelas: segera mengusahakan suntikan modal.
Dari mana modal berasal? Sumber modal hanya ada dua: modal sendiri
atau dari pihak lain. Modal milik sendiri mungkin lebih luwes dan nyaman
digunakan, tapi yang sering terjadi adalah terbatasnya dana. Lantas,
bagaimana dengan modal dari pihak lain? Modal dari pihak lain terbagi ke
dalam dua kategori, yaitu dari utang dan investasi.

Utang juga leverage yang bermanfaat. Sayangnya, terlalu banyak pengusaha
yang jatuh justru karena terlalu mudah memperoleh utang. Kredit yang terlalu
mudah membuat kita bodoh. Kejatuhan karena utang yang tidak terkendali
bukan saja menimpa perusahaan kecil, bahkan perusahaan besar dan negara
sekalipun. Yunani, misalnya, bisa jatuh karena utang yang mereka miliki tidak
terkontrol.

Perbankan konvensional menerapkan konsep utang murni dengan
bunga yang harus dibayar, tanpa peduli apakah usaha Anda berjalan
sebagaimana mestinya, atau mengalami kesulitan, atau bahkan bangkrut.
Jika harus menggunakan perbankan sebagai leverage, maka pastikan Anda
menggunakan perbankan syariah dengan konsep kerja sama dan bagi hasil
yang adil bagi kita. Banyak rekan saya yang mengeluhkan besarnya bunga
jika menggunakan perbankan syariah. Ini pemahaman yang keliru. Perbankan
syariah tidak menerapkan bunga atau riba pada semua transaksinya. Yang
mereka terapkan adalah bagi hasil. Artinya, bank akan mendapatkan bagi
hasil yang besar ketika usaha bagus, dan merekapun akan menanggung
resiko ketika usaha mengalami kesulitan. Demikian juga pihak pengusaha,
besar dan kecil hasil yang kita terima tergantung pada kondisi usaha. Adil
bukan?

Konsep lain menggunakan uang yang bukan milik kita adalah equity deal,
atau mencari investor. Melibatkan investor sebagai leverage sering kita
dengar, tapi prakteknya tidak sepopuler menggunakan utang. Mengapa?
Karena sebagian besar orang berfikir bahwa mencari investor sangat sulit.
Anggapan ini benar untuk sebagian orang, tetapi tidak benar untuk sebagian
yang lain, karena uang ada di mana-mana dan jumlahnya besar sekali. Semua
uang itu mencari tempat yang cocok untuk berkembang melalui investasi,
dan mencari deal yang bagus! Sementara di sisi lain, banyak pengusaha yang
kebingungan mencari uang untuk modal pembangunan bisnis mereka. Inilah
jurang pemisah yang harus kita pahami. It’s not about lack of money, it’s about
lack of good deal!

Ada beberapa hal yang jika kita bisa menyediakannya, maka orang-orang
akan berdatangan untuk menginvestasikan uangnya di bisnis kita. Itulah
yang saya sebut dengan good deal!

Investor yang paham betul investasi atau investor pro menuntut tingkat
kepastian tertentu. Mereka Investor yang paham betul investasi atau
investor pro menuntut tingkat kepastian tertentu. Mereka ingin memastikan
bahwa uangnya akan kembali; mereka mencari good deal. Investor pro
mengambil keputusan berdasarkan intelektualitasnya, sedangkan investor
amatir memutuskan berdasarkan emosinya. Investor pro memutuskan
investasi berdasarkan pertimbangan yang tepat, sedangkan investor amatir
berinvestasi karena tertarik pada cerita orang yang menawarkan peluang
investasi tersebut.

Orang yang fokus untuk tidak kalah akan selalu berpikir, bagaimana dia
bisa mempertahankan uangnya—agar tidak habis atau hilang. Setiap
gerakan yang dilakukannya adalah untuk bertahan hidup, atau survival.
Inilah karakter khas orang miskin

Bisnis saya ini sudah saatnya berkembang, tapi kok ya susah dapat tambahan
modal. Mau mengajukan pinjaman ke bank tidak mungkin, karena saya masih
punya tunggakan cicilan. Mungkin malah nama saya sudah masuk daftar
hitam. Bagaimana ini? Investor susah sekali dicari! Kalaupun ada, kerjaannya
cuma tanya ini itu lalu susah saya hubungi lagi.

Pernahkah Anda mengalami kondisi seperti itu? Anda sulit menemukan
investor yang bersedia menanamkan uangnya di bisnis Anda. Beberapa calon
investor yang Anda temui bahkan tidak tertarik untuk membuka analisa
keuangan yang Anda sodorkan, dan bersikap dingin ketika Anda membahas
perkiraan keuntungan. Dia justru bersemangat mengajak Anda berbincang
tentang kelinci-kelinci anggora koleksinya. Intinya, calon investor itu tak
segera berkata ”deal!”

Seperti itulah investor pro bekerja. Anda ingat? Investor pro mengambil
keputusan berdasarkan intelektualitasnya dan berdasarkan pertimbangan
yang sangat hati - hati. Dan untuk investor yang sudah berpengalaman, dia
tidak perlu waktu lama untuk menentukan apakah sebuah bisnis itu layak
atau tidak.

Investor pro selalu mencari celah, yang mungkin tidak terlihat oleh pemilik
bisnis itu sendiri, atau oleh investor amatir. Kepentingannya adalah
memastikan bahwa uangnya akan kembali, memastikan bahwa bisnis yang
akan dia biayai itu bisa berjalan dengan baik. Jadi, jika kita ingin memperoleh
Hot Button Investor, maka kita harus berpikir sebagaimana investor tersebut
berpikir.

Sebelum kita belajar berpikir dan bertindak sebagaimana investor pro, Anda
perlu tahu bahwa uang yang tersedia dan siap manjadi piranti leverage Anda
sangat melimpah. Di Indonesia, banyak dana investasi yang dimiliki berbagai
lembaga pemerintah dan swasta, dan selalu mencari tempat yang tepat untuk
menanamkannya. Jika jeli, Anda akan menemukan potensi dana segar di :

• Berbagai institusi pemerintah maupun swasta
• Modal ventura (penyertaan modal oleh perusahaan tertentu)
• Berbagai yayasan
• Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja)
• Dan sebagainya.

Jadi, dari aneka institusi yang bertebaran di Indonesia, nyaris semua memiliki
cadangan dana untuk diinvestasikan. Mereka mencari bisnis yang memang
layak dibiayai, semua ingin mengeluarkan uangnya, agar berkembang di
tangan Anda. Kita sama sekali tidak kekurangan uang. Sebaliknya, uang yang
siap digulirkan sangat melimpah.

Investor lain yang tak kalah potensial dan menyediakan dana melimpah
adalah adalah investor perorangan. Ada 4F + 1P yang bisa kita jadikan
investor:
Founder. Pemilik perusahaan, dalam hal ini Anda sendiri. Demi mengungkit
bisnis, Anda bisa mengeluarkan uang pribadi sebagai modal.
Family. Kita bisa mengajak anggota keluarga, kerabat dekat dan jauh untuk
menjadi investor.
Friend. Perhatikan, adakah teman yang potensial untuk menjadi investor
Anda?
Fool. Orang yang punya uang, namun tak punya keahlian investasi.

Dari empat investor personal ini, tiga F yang pertama bersedia investasi
karena mereka menyukai Anda. Demi bisnis Anda, besar kemungkinan Anda
rela mengeluarkan uang pribadi. Sementara itu, family dan friends mungkin
percaya pada kebaikan Anda, atau kasihan kepada Anda dan ingin membantu
Anda. Bagaimana dengan F yang ke empat? Dia adalah jenis orang yang mau
berinvestasi karena menyukai cerita Anda. Jika Anda pandai mempromosikan
bisnis yang hendak berkembang, dengan prospek bagus dan tingkat
keutungan tinggi, fool ini tidak akan sabar untuk mengeluarkan uangnya
untuk Anda.

Bisa jadi, memperoleh dana dari 4F ini lebih cepat dan pragmatis. Jika
menemukan orang yang tepat, yang menyukai Anda atau cerita Anda, dana
untuk leverage akan segera mengalir ke rekening Anda. Sayangnya, uang yang
segera cair tidak berbanding lurus dengan pengetahuan yang Anda peroleh
tentang investasi yang benar. Jadi Anda tidak memperoleh pengalaman
belajar yang istimewa, yang akan membuat Anda cerdas mencari investasi
sebagai leverage dan cerdas sebagai investor. Lain halnya jika Anda Anda
bertemu dengan investor pro (1P).

Perdagangan itu seperti langit. Mataharinya adalah kepercayaan dan
bulannya adalah kebenaran ~ Baha’ullah, pendiri agama Baha’i ~

Para investor pro memutuskan dengan intelektualitas dan naluri bisnis yang
tajam. Mereka biasa bersikap skeptis dan pesimis. Mereka juga tak suka coba coba.
Jika mengiyakan sebuah deal, mereka biasa menambahkan catatan catatan
untuk menjamin bahwa bisnis tersebut layak.
Karenanya, Anda tak perlu patah hati. Sikap mereka itu bertujuan untuk
memastikan bahwa bisnis yang akan dibiayai bakal berjalan. Hanya dengan
berpikir dengan pola pikir investor pro, kita bisa tahu apa yang mereka
inginkan. Dengan memberikan apa yang mereka inginkan, maka berapapun
dana yang Anda butuhkan sudah di tangan.

Berikut adalah 3 pertanyaan yang selalu diajukan oleh investor pro. Tugas
Anda adalah memastikan bahwa dia memperoleh jawaban yang logis.
• Apakah deal Anda ini memang benar-benar layak dibiayai? Yang ditanyakan
oleh investor pro adalah proyeknya itu sendiri, apakah memang bisa
berjalan dengan baik, dilihat dari berbagai sudut pandang si investor.
• Apakah Anda layak dibiayai? Yang dilacak investor pro adalah track record
Anda. Apakah Anda layak dipercaya? Apakah Anda berpengalaman dalam industri tersebut?
Apakah Anda bisa membuat keberhasilan bisnis ini
terwujud? Can you make it happen?
• Apakah resikonya bisa dibiayai? Mereka tahu bahwa semua investasi ada
resikonya. Mereka ingin memastikan bahwa resiko terburuk sekalipun bisa
ditanggung dan tidak membuat para investor kesulitan.

Jika Anda bisa memastikan bahwa jawabannya sesuai dengan pola pikir
mereka, maka... Selamat! Anda bukan hanya berhasil memperoleh investasi,
tapi juga berbakat menjadi investor pro itu sendiri!

Para investor pro memutuskan dengan intelektualitas dan naluri bisnis
yang tajam. Mereka biasa bersikap skeptis dan pesimis. Mereka juga tak
suka coba-coba.

Selanjutnya, selain mengajukan 3 pertanyaan mendasar itu, ada beberapa
pertanyaan yang lazim dijadikan acuan oleh investor pro, sebelum
menyatakan deal atau tidak terhadap sebuah bisnis:
1. Apa yang bisa terjadi dengan bisnis ini nanti?
2. Show me your track record. Siapakah Anda, bagaimana kredibilitas Anda
di dunia bisnis?
3. Mengapa Anda butuh uang saya? Buat siapa uangnya? Untuk keperluan
Anda, untuk mengembangkan binis, atau membuat bisnis baru?
4. Apakah Anda bisa mewujudkan rencana Anda? Jika Anda berkata
peluangnya adalah 10 gerai dalam 5 tahun ke depan, bisakah terjadi?
Bagaimana caranya?
5. Siapa yang mengkonsep bisnis ini? Siapa saja yang ada dalam tim
manajemennya, siapa saja direksinya, siapa orang yang ada di belakang
bisnis Anda?
6. Siapa yang akan menjalankannya? Siapa yang memimpin operasional
bisnis ini nanti? Siapa saja timnya?
7. Apakah mungkin ide Anda ini bagus, tapi membuat perusahaan bangkrut,
atau ide Anda sebenarnya biasa-biasa saja, tapi membuat perusahaan
menangguk untung?
8. Be clear with Break Even Point. Seberapa mudah BEPnya?
9. Apa yang Anda sembunyikan? Apa yang tidak saya tidak ketahui?
10. Apakah (selain tambahan modal) Anda sedang mengalami masalah
dengan bisnis ini?
11. Stay focus. Apakah Anda fokus pada bisnisnya atau pada produknya?
Apakah Anda menawarkan produk yang sangat bagus namun tidak akan
laku karena sebab tertentu?

Setiap investor juga memiliki aturan sendiri. Aturan saya untuk investasi adalah:
saya tidak akan menginvestasikan lebih dari 30% dari uang tunai yang saya
miliki. Investasi bukan pekerjaan perorangan, bukan pekerjaan emosional.
Investasi adalah pekerjaan tim, dan pekerjaan logika rasional. Pikirkan apa
yang tidak terlihat, apa yang tersembunyi. Jangan mudah tersentuh oleh
cerita drama yang dibawa oleh pebisnis, demikian pula tawaran keuntungan
fantastis dalam waktu singkat.

Ingat, sesuatu yang menyentuh nafsu dasar kemanusiaan kita—ingin banyak
dalam waktu cepat—adalah awal kejatuhan yang nyata. Apalagi jika ada uang
riba terlibat di sana. Apapun yang Anda peroleh hanya membawa keburukan.

Selanjutnya, sebagai pebisnis yang sedang mengusahakan tambahan modal
sebagai leverage bisnis, ada beberapa hal yang bisa Anda jadikan panduan
untuk menghadapi unvestor :
1. Pent up demand—investor menghendaki sesuatu yang tingkat
kepastiannya sangat tinggi. Sudah ada permintaan yang jelas. Bukan
permintaan pasar, tetapi order yang jelas sangat menarik investor. Jika
kita memiliki order yang sudah di tangan, inilah langkah awal untuk
membuat para investor mengeluarkan uangnya untuk membiayai
deal kita. Investor tertarik dengan pent up demand. Banyak pebisnis
mendatangi investor dengan mengajukan konsep yang wah, sementara
pasar yang hendak menyerap produknya belum ada. Jangan lakukan itu.
Sell it before you build it! Carilah order dulu, pastikan bahwa produk Anda
nanti jelas pasarnya, baru dibuat. Jangan pernah menciptakan produk,
kemudian Anda sendiri bingung mau dijual ke mana. Investor selalu ingin
kepastian, hingga ke detail yang bahkan Anda tidak melihatnya.

2. Manajemen. Siapa yang akan menjalankan bisnis ini. apakah mereka
adalah orang yang telah memiliki track record dan telah terbukti bisa
menjalankan proyek yang kita rencanakan? Jika orang-orang yang dikenal
terpercaya masuk ke dalam sebuah tim, maka inilah langkah kedua.
Ini langkah yang lebih dalam untuk membuat investor mengeluarkan
uangnya untuk deal yang kita tawarkan. Pastikan bahwa Anda adalah
orang yang tepat di mata investor. Carilah orang-orang terpercaya
dan berkualitas untuk proyek Anda, yang akan membuat angka-angka
yang Anda harapkan itu terwujud. Pastikan Anda memiliki talent yang
terpercaya, yang tidak hanya akan membuat investor percaya kepada
Anda, tetapi juga akan membuat Anda percaya diri dalam menjalankan
proyek Anda.
3. Entry barrier. Seberapa banyak orang bisa masuk ke dalam bisnis yang
Anda tawarkan? Semakin sedikit yang bisa masuk semakin menarik bagi
investor. Jika sebuah bisnis bisa digarap oleh banyak orang, maka pasar
akan mudah berubah. Ini berarti ancaman terhadap seluruh rencana
yang Anda buat sendiri.
4. Seberapa sederhana Anda bisa menjelaskan hubungan antara keuntungan
dan resikonya? Usaha pengeboran minyak, misalnya. Untuk memperoleh
1 lubang minyak, Anda harus menggali 100 lubang. Keuntungan dari
1 lubang itu memang sangat besar, tapi resiko kerugian juga besar.
Jika Anda bisa menawarkan bisnis yang bisa memangkas resiko-resiko
semacam itu, maka investor akan mengejar Anda.

Jadi, dalam dunia bisnis sama sekali tidak kekurangan uang. Sebaliknya, uang
yang ada di sekeliling kita dan siap diinvestasikan sangat banyak, hingga tak
terbatas. Banyak uang beredar di luar sana, dan uang itu sedang mencari
tempat untuk diinvestasikan. Kita sudah belajar menciptakan good deal
dengan berpikir sebagaimana investor pro berpikir. Dan yang membuat
kesempatan ini menjadi lebih mudah, di antara investor yang sangat banyak
itu, Anda hanya perlu SATU investor saja untuk membuat bisnis Anda berjalan
sebagaimana Anda inginkan.

Dan jika Anda berhasil dengan investor pertama, maka investor berikutnya
sudah menanti. Sebaliknya, jika Anda gagal dengan investor pertama,
Anda punya pengalaman besar yang akan membuat Anda belajar. Dan kali
berikutnya, Anda lebih jeli. Kali berikutnya, peluang itu milik Anda. Tidak
ada lagi alasan untuk menyentuh riba. Menggunakan utang dengan konsep
riba atau bunga berbunga sebagai piranti leverage adalah bencana. Begitu
uang kita terima, kita sudah mengawali bisnis dengan ancaman kehancuran
yang pasti. Kalaupun ada keuntungan dari bisnis itu, maka yang kita peroleh
adalah kekayaan semu, yang sama sekali tidak mendatangkan keberkahan.
Banyak cara bisa kita lakukan untuk menghindari riba, mengapa harus
menggadaikan diri ke uang riba?

Mungkin sebagian orang merasa terpaksa menerima tawaran rentenir
sebagai daya ungkit karena mereka tidak menemukan investor yang tepat.
Lantas, mengapa banyak investor tertarik untuk menanamkan uangnya
pada sebuah usaha tertentu? Mengapa investor tak mudah mengiyakan
sebuah tawaran investasi dari perusahaan yang baru dikenalnya? Inilah yang
menjadi pekerjaan rumah Anda untuk mempelajarinya. Temukan Hot Button
Investor. Temukan sesuatu yang menggerakkan mereka untuk menanamkan
uangnya pada deal yang kita tawarkan. Apa yang saya maksud mewakili kata
”percaya”. Bagaimana agar investor itu mempunyai rasa percaya yang tinggi
kepada deal yang kita tawarkan. Bagaimana investor yakin bahwa bisnis yang
menyerap dana mereka itu bakal menghasilkan keuntungan.

Kisah Warren Buffett yang emoh mempertaruhkan uang 100 dollar-nya
dalam pertandingan golf memberikan pelajaran kepada kita, bahwa investor
itu bukan petaruh. Mereka jeli menilai bisnis yang Anda tawarkan. Bagi
investor yang sudah berpengalaman, memilih bisnis yang akan menjadi lahan
investasinya bukan perkara sulit. Di sisi lain, Anda juga harus jeli menawarkan
bisnis yang benar-benar punya peluang bagus. Keberhasilan sebuah investasi
yang Anda tawarkan akan membuka jalan bagi investasi selanjutnya. Investor
akan mulai percaya kepada Anda. Dengan demikian, Anda tak akan pernah
kehabisan amunisi saat perusahaan memerlukan daya ungkit.

Sebenarnya, kehadiran investor bukan saja penting bagi perusahaan. Dalam
membangun negara pun, peran investor juga sangat besar. Negeri Cina bisa
berkembang pesat hingga sekarang karena orang-orang kaya dari luar negeri
berduyun-duyun ke sana dan menanamkan investasinya. Banyak bidang
pembangunan yang sulit mengalami akselerasi tanpa bantuan investor.
Anggaran negara tentu dibagi-bagi untuk berbagai pos, sehingga sektor
tertentu yang dianggap bukan prioritas cenderung ditangguhkan.

Untuk membangun jalan tol, misalnya, sulit rasanya mengharapkan uang
negara. Karena itu, langkah strategis yang ditempuh adalah melibatkan
investor. Demi melihat peluang bisnisnya, investor segera datang beramai ramai
dengan dana yang tak terbatas. Jalan tol tersedia dalam waktu singkat,
investor memperoleh keutungan, pembangunan negara pun terbantu.
Simbiosis mutualisme.

Demikian pula dalam bisnis. Investasi adalah bagian krusial bagi sebuah bisnis
yang mulai perlu dana untuk berkembang. Bagi pebisnis, menggunakan
other people’s money sebagai leverage adalah sebuah keterampilan. Dan,
sebuah keterampilan adalah sesuatu yang bisa dipelajari dan dilatih. Orang
yang pandai berinvestasi, bisa dipastikan pandai mencari investor. Alasannya
sederhana: orang yang pandai berinvestasi sangat memahami cara berpikir
para investor. Dia tahu betul, bisnis seperti apa yang dikehendaki para
investor.

Di saat banyak orang mencari investor, banyak juga orang tidak menyukai
investor karena tidak ingin berbagi kepemilikan perusahaan. Saya juga
menginginkan beberapa bisnis saya tetap saya pegang kepemilikannya
100%. Namun pada bisnis tertentu seperti perkebunan kelapa sawit, saya
mencari investor untuk berpartner dengan saya. Menurut saya, memiliki 10%
tetapi senilai berlian jauh lebih baik daripada memiliki 100% senilai batu akik!

Anda pasti kenal Bill Gates. Dia sering disebut-sebut sebagai orang terkaya
di dunia. Anda tahu berapakah sahamnya di perusahaan Microsoft? Hanya
sekitar 8%! Tapi Anda juga harus ingat bahwa 8% yang dimiliki Bill Gates
itu adalah 8% dari omset Microsoft yang mencapai puluhan bahkan ratusan
triliun rupiah

2. Other People’s Time atau OPT
Perusahaan yang hanya dijalankan seorang diri akan berkembang dengan
jangkauan maksimal sesuai kapasitas yang dimilikinya. Dan kapasitas itu
sudah pasti terbatas, atau ada batasnya. Pebisnis besar dunia selalu memiliki
tim yang hebat, yang bisa membawa perusahaan melesat. Bisnis yang
digarap sendirian tak akan beranjak dari titik mulanya, bahkan lambat laun
akan tersisih. Apa pasal? Energi manusia itu terbatas, jadi dia perlu dukungan
manusia lain untuk saling mengisi.

Other people’s time! Itulah jenis leverage yang kedua. Leverage dengan strategi
other people’s time ini meliputi pemanfaatan tim yang hebat, relationship
skill, dan partner yang berkualitas. OPT juga bisa berupa kemampuan dalam
memanfaatkan konsultan, advisor dan sumber daya manusia yang bisa
membantu kita untuk mengembangkan bisnis. Dengan memiliki sumber
daya yang tangguh, maka di tangan Anda ada piranti leverage yang siap
mengungkit kesuksesan perusahaan.

Carilah talent yang akan membantu Anda melakukan percepatan dalam
membangun bisnis. Talent adalah orang yang benar-benar tahu apa yang
harus dilakukan. Cari tim yang bisa membantu kita, bahkan mengajari kita,
dan pelajari bagaimana caranya agar mereka loyal kepada perusahaan dan
selalu produktif.

3. Other People’s Network atau OPN
Menemukan leverage berupa jaringan orang lain atau OPN adalah energi yang
benar-benar luar biasa dahsyatnya. Ketika Balimuda bekerja sama dengan
investor, maka yang terjadi bukan sekedar kerjasama saling menguntungkan.
Mereka biasanya mengajak kita untuk masuk ke dalam jaringan mereka
yang luar biasa. Pada tahun 2009, ketika banyak orang kesulitan mencari
investasi untuk proyek perkebunan kelapa sawit, Balimuda justru sebaliknya.
Kami kesulitan menempatkan investasi dari berbagai investor yang ingin
menanamkan uangnya pada bisnis perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Satu contoh sederhana agar Anda bisa menggunakan OPN dengan baik
adalah dengan menjawab pertanyaan berikut: Siapa target market bisnis
Anda? Jaringan siapa yang hari ini menyentuh target market kita?
Dua pertanyaan itu akan membantu kita untuk menemukan leverage OPN
yang luar biasa. Misalnya bisnis Anda adalah berjualan kerudung, dan model
kerudung yang Anda jual termasuk kategori desain yang disukai oleh ibu ibu.
Maka kemungkinan besar target market Anda adalah ibu- ibu pengajian.
OPN yang bisa Anda cari adalah majelis-majelis taklim yang ada disekitar
Anda. Majelis taklim yang memiliki ribuan jemaah bisa menjadi leverage,
dan bisa mendongkrak bisnis Anda dengan luar biasa, selama kita tahu cara
menerapkannya.

Untuk memanfaatkan jaringan orang lain, kita tak perlu kita mengenal
semua orang yang ada di organisasi yang bersangkutan. Kita hanya perlu
kenal beberapa orang saja, dan merekalah yang akan memainkan perannya
sebagai leverage kita dalam jaringan yang sudah mereka miliki.

Sekarang, coba perhatikan perjalanan bisnis para pengusaha sukses di
Indonesia maupun dunia. Mereka semua ternyata lihai dalam menggunakan
leverage berupa OPM, OPT, maupun OPN. Jadi, investasikan waktu Anda
untuk mempelajari dan menguasai ketrampilan menggunakan berbagai
leverage tersebut. Leverage memungkinkan Anda untuk mencapai apa yang
Anda impikan, sebesar apapun impian itu, dan memecahkan masalah yang
Anda hadapi, sebesar apapun tantangannya!

Kita tidak bertindak benar karena kemuliaan atau keistimewaan kita;
sebaliknya, kita mencapai kemuliaan dan keistimewaan karena kita sudah
bertindak benar ~ Aristoteles ~

Baca Juga :

Wednesday, June 21, 2017

Strategi Membangun Kekakayan Tanpa Riba part6

PERTANYAAN 6
SIAPA YANG JADI AHLI KEUANGAN ANDA?

Bu Tria mengawali bisnis rumahannya dengan membuka gerai burger, dan segera
laris di pasaran. Tak ingin membiarkan peluang bagus berlalu, dia membuka dua
gerai baru. Sambutan pelanggan kian bagus, dan keuntungannya kian banyak.
Dengan hasrat menggebu, dia memutuskan untuk mengambil langkah besar.
Lima belas gerai dibukanya sekaligus di berbagai kota.

Bank dengan sigap mencukupi kebutuhan modalnya untuk membeli berbagai
alat. Dengan penuh percaya diri, Bu Tria mulai menjalankan bisnisnya. Skala
bisnis yang lebih besar ini tak urung membuatnya gugup. Tiga atau empat gerai
masih bisa dia kendalikan. Tapi belasan? Pengalamannya belum memadai.

Bisnis itu segera redup karena tidak terkelola dengan baik. Dia bangkrut
dalam waktu singkat, sementara tagihan dari bank terus berjalan. Saat itulah
dia sadar, bahwa kesalahannya yang paling besar adalah melakukan investasi
pada aset-aset yang tidak produktif, pengelolaan cashflow yang buruk, dan
utang yang tidak terkendali. Utang yang terlalu mudah diperoleh membuat
Bu Tria kehilangan kecerdasannya. Putaran uang cash yang banyak pada saat
usahanya berkembang membuat Bu Tria gugup, dan tidak bisa membedakan
mana uang operasional dan mana uang yang bisa digunakan untuk investasi.
Karena keberhasilan bisnisnya itu, banyak sekali tawaran yang datang kepada bu
Tria, mulai dari yang menawarkan investasi bisnis baru, asuransi, hingga tanah
untuk dibeli. Merasa cerdas dengan “investasi” di sana-sini, termasuk investasi
aset yang tidak ada hubungannya dengan bisnisnya, tanpa disadari membuat Bu
Tria harus banyak berutang.

Beberapa investasi dalam bisnis lain yang di luar kompetensi menyedot uang besar
dan hampir seluruhnya berakhir dengan kegagalan. Godaan untuk “investasi”
pada pembelian tanah hanya menyebabkan kesulitan keuangan. Dana yang
diambil dari anggaran untuk operasional bisnis burger jumlahnya cukup besar,
sementara tanahnya tidak menghasilkan apapun. Kini, saat penjualan lesu, biaya
tetap yang harus dibayar sangat besar. Cicilan yang rencananya dia bayar dari
keutungan jadi berantakan.

Bu Tria sudah gegabah mengelola uangnya, dan kini uang itu pula yang
menerornya siang dan malam. Dia baru sadar, bahwa mengelola uang tak
cukup dengan semangat dan niat mulia. Dia perlu pengetahuan. Dia juga perlu
keterampilan mengelola uang.

Sebelum berbincang tentang pengelolaan uang, coba Anda jawab pertanyaan
saya:
• Apakah Anda ingin selalu dilihat punya banyak uang?
• Apakah Anda merasa tidak begitu penting untuk membuat anggaran setiap
bulannya?
• Apakah Anda sering tertarik dengan cerita orang yang menawarkan peluang
investasi dengan hasil yang sangat tinggi, pada bisnis yang sebenarnya tidak
Anda kuasai?
• Apakah Anda cenderung memimpin perusahaan dengan ketrampilan atau
dengan uang Anda?

Banyak orang yang mampu membangun sumber keuangan yang besar baik
sebagai profesional, self employee, maupun dari bisnis sendiri. Namun ketika
uang terasa mudah diperoleh, mereka kehilangan fokus dan melakukan aneka
kesalahan dalam memperlakukan uang yang dimilikinya. Perilaku mereka
berubah tanpa disadari, karena banyak orang yang mengenal mereka sebagai
orang kaya dan punya banyak uang. Akibatnya, mereka merasa tidak nyaman
apabila ada kesan dari orang lain bahwa mereka sedang tidak punya uang.
Di lain kesempatan, mereka kadang takut suatu saat keadaannya berubah.
Karenanya mereka ingin menginvestasikan uang yang ada di berbagai tempat.
Sayangnya, investasi itu dilakukan tanpa ilmu dan hanya menghasilkan kesulitan
keuangan beruntun.

Kita tidak harus lebih pintar daripada yang lain; kita harus lebih disiplin
daripada yang lain ~ Warren Buffett ~

Banyak di antara mereka melakukan investasi hanya karena iming-iming cerita
indah dari orang lain. Promosi yang mereka dengar begitu meyakinkan, sampai
mendatangkan kesan bahwa orang-orang yang promosi itu lebih ahli dalam hal
uang daripada si pemilik uang. Padahal, jika Anda ingin membangun kekayaan,
maka Anda sendiri yang harus cerdas dalam memperlakukan uang. Anda harus
memiliki financial competence.

Financial competence mencakup tiga hal utama yaitu Business Skill, Money
Management Skill dan Investing Skill. Jika ketiga hal ini Anda kuasai, maka
menjadi kaya hanyalah persoalan waktu.

Business Skill
Skill berarti keterampilan. Sama sekali bukan bakat. Keterampilan adalah
sesuatu yang bisa dipelajari. Dan satu-satunya kunci agar seseorang bisa
memiliki keterampilan adalah dengan berlatih. Keterampilan berbisnis sama
persis dengan keterampilan seorang atlit bulutangkis atau perenang, misalnya.
Semakin sering dia berlatih dengan benar, semakin lincah dan mahirlah dia.
Jika dia memadukan jam berlatih yang memadai dengan kemauan keras untuk
memperbaiki setiap kekurangan dan meningkatkan kekuatannya, dia pasti jadi
atlit yang handal.

Tak ada jalan instan untuk memperoleh keterampilan yang berkualitas.
Kemahiran hanya diperoleh melalui latihan yang serius dan sungguh-sungguh.
Begitu pula dalam berbisnis. Tak ada jalan pintas untuk menjadi pebisnis handal.
Coba Anda pelajari, orang-orang kaya yang kini ada pasti telah melalui proses
yang panjang dalam menjalani bisnisnya. Orang yang kaya mendadak tidak
akan lama mempertahankan kekayaannya.

Bagaimana melatih keterampilan berbisnis? Salah satunya dengan berjualan.
Inilah bentuk keterampilan berbisnis yang paling sederhana, dan paling bisa
langsung dicoba oleh siapapun. Berjualan merupakan cara semua orang untuk
memperoleh uang. Yang dijual bisa macam-macam: barang, jasa, tenaga, atau
kepandaian. Keterampilan berjualan ini tentu saja bisa dipelajari, dilatih, dan
dikuasai.

Skill berarti keterampilan. Sama sekali bukan bakat. Keterampilan adalah
sesuatu yang bisa dipelajari. Dan satu-satunya kunci agar seseorang bisa
memiliki keterampilan adalah dengan berlatih.

Money Management Skill
Bu Tria terbukti terampil berjualan. Dia berhasil membantu nafkah keluarganya
dengan gerai burger yang sukses. Sayangnya, begitu dana pinjaman bank cair
dalam jumlah besar, bisnisnya justru roboh. Uang yang sedianya dianggarkan
untuk memperbesar bisnis dan mencetak laba besar justru balik menyerangnya
dengan tagihan plus riba. Dia tak bisa mengelola uangnya dengan baik.

Membangun kekayaan tidak bisa dilepaskan dari keahlian mengatur keuangan.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan aset dan income selanjutnya. Inilah yang
sepenuhnya luput dari manajemen Bu Tria. Dia menggunakan sebagian besar
pinjaman itu untuk investasi yang tidak berhubungan dengan bisnisnya. Asetnya
memang bertambah, tapi tak bisa mengejar laju cicilan yang harus dibayarnya
setiap bulan. Kondisi keuangannya dengan cepat jadi kedodoran. Tabungan?
Tak ada.

Jadi, jika menaikan memperoleh pendapatan merupakan konsep making money,
maka prinsip meningkatkan saving dan investasi adalah bagian dari konsep
keeping money atau menjaga uang. Keduanya adalah konsep yang sangat
berbeda. Sebagian besar orang paham dan bisa making money, namun banyak
yang gagal dalam keeping money. Sayangnya, sepandai apapun mereka making
money, tanpa kefasihan menjalankan prinsip keeping money, mereka tidak akan
pernah bisa membangun kekayaan.

Lebih dari 30 tahun berkarir di dunia hiburan, Michael Jackson jelas mampu
making money. Semua yang disentuhnya seolah menjadi uang. Semua
yang berkaitan dengannya bisa jadi barang dagangan. Suaranya, tariannya,
bonekanya, tanda tangannya, bahkan fotonya bisa mengalirkan uang yang tak
sedikit. Seluruh dunia jadi saksi kejayaannya. Lantas, mengapa ketika meninggal
dia meninggalkan utang yang tak kalah banyaknya? Fakta ini jelas menunjukkan
bahwa Jacko tidak terampil dalam keeping money.

Demikian pula dengan Anda. Kekayaan tak akan bisa dibangun hanya dengan
kemampuan menghasilkan uang. Tanpa kemampuan keeping money, seberapa
pun besar income yang Anda peroleh, pasti akan lenyap lebih cepat dari yang
Anda duga. Jadi, selihai apa Anda menjaga uang Anda?

Investing Skill
Setelah keterampilan bisnis dan mengelola uang, yang tidak kalah penting dalam
membangun kekayaan adalah meningkatkan investasi. Konsep ini sebenarnya
berada dalam kategori making money dan keeping money sekaligus. Artinya,
investasi adalah salah satu usaha memperoleh penghasilan. Yang membuatnya
berbeda adalah, investasi lebih dimaknai sebagai usaha mengembangkan
pemasukan, sekaligus sebagai dana cadangan.

Apa yang harus Anda lakukan agar bisa memiliki investasi yang sehat? Sebelum
memilih investasi mana yang akan diambil, pastikan dulu Anda PUNYA uangnya.
Terutama untuk pemula, dana investasi harus berasal dari pos yang memang
Anda cadangkan untuk investasi. Artinya, melakukan dan menaikkan investasi
tidak akan pernah terwujud jika Anda tidak bisa keeping money. Apa yang akan
Anda investasikan jika income yang Anda peroleh tidak berhasil Anda simpan.
Saran saya, simpan sebagian uang Anda, cadangkan untuk investasi pada
bidang yang anda kuasai.

Bagaimana? Dana investasi Anda sudah siap? Jika belum, Anda boleh mulai
meningkatkan penghasilan dan disiplin menyisihkan setiap 10% nya untuk dana
investasi. Jika sudah, bersiaplah untuk menjadi pengelola uang yang baik. Kini
saatnya uang Anda didayagunakan untuk investasi. Untuk melakukan investasi
yang berkualitas, berikut tujuh aturan emas yang wajib Anda patuhi:

7 Aturan dalam menginvestasikan uang anda.
1. Jangan investasikan semua uang yang Anda miliki
Ingat Skema Ponzi? Tawaran investasi dengan keuntungan berlipat dalam
waktu singkat sering membuat orang tergiur. Jika orang memahami bahwa
investasi yang sehat itu tidak instan, maka skema penipuan ini tak perlu
memakan korban. Sayangnya, mentalitas miskin selalu memprovokasi.
Dengan keyakinan menggebu, banyak orang yang berani mempertaruhkan
semua uangnya. Ingat! Prinsip investasi adalah menunggu peluang, kemudian
beraksi. Jangan kedepankan emosi saat memutuskan investasi mana
yang Anda pilih. Utamakan akal sehat. Jika Anda melihat peluang bagus,
investasikan sebagian uang Anda. Siapa tahu sesudahnya ada peluang yang
jauh lebih menjanjikan dan lebih aman.

2. Jangan berinvestasi menggunakan uang tunai yang segera Anda pakai
Anda dalam daftar tunggu haji. Mungkin tahun ini, mungkin tahun depan.
Atau, Anda mempunyai uang yang dianggarkan untuk memperbaiki rumah
empat bulan mendatang. Dalam masa penantian itu, mendadak seorang
teman bercerita tentang keberhasilannya bermain valuta asing. Teman
Anda yang lain menawarkan sebuah kerja sama jangka pendek dengan
keuntungan besar. Jika tawaran itu Anda iyakan, berarti Anda telah merusak
aturan sendiri. Anda lebih dipengaruhi emosi. Dan kemungkinan keputusan
gegabah ini akan membuat Anda akan jatuh. Uang Anda akan hilang, rumah
Anda gagal diperbaiki, atau Anda harus berutang untuk bekal ibadah haji.
Untuk berinvestasi, gunakanlah uang yang benar-benar disiapkan untuk
investasi. Di bagian Pertanyaan 2, kita sudah belajar cara menyisihkan 10%
dari setiap penghasilan untuk pos investasi.

3. Mintalah saran atau pendapat yang lebih ahli
Berinvestasi berarti bijak melihat peluang. Setiap bidang usaha memiliki
peluang dan karakteristik masing-masing. Resiko sudah pasti ada, karena
setiap jenis bisnis dan investasi selalu memiliki resiko. Berani berinvestasi
berarti berani menghadapi resiko, yang baik atau yang buruk. Tapi ingat!
Berani tidak sama dengan konyol. Melabrak semua resiko investasi tanpa
pertimbangan adalah tindakan bunuh diri. Padahal, Anda bisa meminimalisir
resiko buruk dengan minta saran kepada orang yang ahli di bidangnya.
Sebelum memutuskan untuk investasi di perdagangan kayu sengon, misalnya,
Anda bisa bertanya kepada orang-orang yang sudah berkecimpung di
bidang ini. Mungkin Anda tahu tentang prospeknya yang bagus, tapi yang
memahami fakta dan data tentang sengon, pemasaran, berapa nilai investasi
yang layak, dan resikonya adalah para pelaku.

Ketika tampil dalam sebuah acara, Warren Buffett, Sang Legenda Investasi
ditanya nasihat investasi apa yang akan diberikannya kepada pengusaha
yang baru mengawali karirnya.
“Saya akan memintanya melakukan persis apa yang saya lakukan 40
tahun yang lalu, yaitu mempelajari setiap perusahaan di Amerika yang
menjual sahamnya ke publik.”
Sang moderator protes, “Tapi saat ini ada 27.000 perusahaan publik di
Amerika.”
“Ya,” sahut Buffett, “Mulai saja dengan yang A.”
(The Warren Buffett Way, Robert G. Hagstrom)

4. Lakukan diversifikasi dalam berinvestasi
Ada pepatah kuno yang berbunyi jangan letakkan semua telur di dalam satu
keranjang yang sama. Aturan kuno itu selalu up to date untuk investasi. Tidak
ada bisnis yang tidak beresiko. Tidak ada investasi yang tidak mengandung
resiko. Jika ada, pasti semua orang sudah berbondong-bondong menanamkan
uangnya ke sana, termasuk saya. Karena adanya faktor resiko itulah, pilihan
yang tersedia adalah menekan resiko serendah mungkin. Salah satu caranya
adalah melakukan diversifikasi. Jangan melakukan investasi total dalam satu
unit usaha yang sama. Pertimbangannya, begitu unit itu hancur, maka hancur
pula semua uang Anda. Jika investasi itu Anda bagi dalam beberapa unit
yang berbeda, kehancuran satu unit masih menyisakan harapan penghasilan
dari unit yang lain.

5. Miliki selalu portofolio investasi
Jangan biarkan uang Anda mengendap di rekening tabungan. Investasikan.
Miliki selalu pilihan investasi yang sesuai dengan bidang Anda, dipadukan
saran dari orang-orang yang berpengalaman. Investasi bisa bermacammacam,
mulai dari reksadana, obligasi, saham, emas, properti, kerjasama
dengan teman, hingga beli kebun untuk ditanami aneka tanaman, atau
disewakan. Jika Anda menyimpan uang cash, nilai uang Anda jelas berkurang
karena pengaruh penurunan mata uang ataupun inflasi. Jadi, mulailah
menyusun portofolio investasi yang paling sesuai untuk Anda.

Pikiran manusia unggul selalu penuh dengan ketaatan;
pikiran orang yang keji selalu menginginkan keuntungan
~ Confucius ~

6. Jangan emosi dan panik dalam berinvestasi
Jangan pernah menyentuh investasi yang menjanjikan keuntungan tidak
lazim dalam waktu dekat. Banyak orang tergoda tawaran menggiurkan,
padahal sebenarnya dia tahu bahwa kemungkinannya too good to be true.
Siapa sih yang tidak ingin memperoleh banyak keuntungan? Hati-hati. Inilah
titik jebakannya. Jika ada investasi yang terlihat rasional dan menyentuh
nafsu dasar kita, logika kritis kita bisa terpeleset. Investasi QSAR, sarang
walet, koin emas, atau tanaman gelombang cinta, misalnya, membuat
banyak orang terbuai. Akibatnya, secara emosional mereka beramai-ramai
menginvestasikan semua uang ke sana. Mereka panik, khawatir tidak
kebagian untung jika tidak bergegas. Keuntungan besar yang dijanjikan
membuat orang-orang baik namun minim pengetahuan jadi gelap mata.

Akhirnya mudah ditebak. Saat sadar bahwa mereka jadi korban para penipu
ulung, penyesalan tak pernah mengembalikan uang mereka. Ingat. Investasi
adalah intelectual sport bukan emotional sport. Jelas bahwa Anda harus
mengedepankan logika, bukan emosi.

7. Berikan waktu agar investasi Anda tumbuh
Investasi bukan produk instan. Investasi adalah program jangka panjang,
yang hasilnya tidak bisa dipetik dalam waktu singkat. Investasikan uang Anda
dengan bijak, dan bersabarlah sejenak. Berikan kesempatan agar investasi
yang Anda tanamkan tumbuh terlebih dulu. Setiap investasi ada jangka
waktu tersendiri. Perkebunan sengon, misalnya. Pohon sengon baru layak
tebang setelah umur empat tahun tanam. Jika baru dua tahun Anda sudah
tak sabar ingin mengantungi uang, hasil panen Anda tidak akan optimal,
bahkan Anda bisa merugi.

Tujuh aturan emas itu wajib Anda taati untuk memperoleh hasil investasi
yang diharapkan. Menjadi investor membuat Anda belajar menjadi pengelola
uang yang baik. Sabar, gigih, telaten, mau bertanya, dan bisa mengendalkan
diri adalah modal utama untuk menjadi investor yang bijak. Pada gilirannya,
Anda akan lihai mengelola uang Anda sendiri, dan menjadi ahli keuangan
yang handal bagi bisnis Anda sendiri. Jika hal ini sudah tewujud, bersiaplah
untuk memiliki pohon uang yang selalu mengalirkan penghasilan ke pundipundi
Anda.

Money Tree atau Pohon Uang
Randall Book adalah seorang pengusaha sukses yang tinggal di Detroit,
Michigan Amerika Serikat. Bisnis utama Randall di bidang pertambangan yaitu
emas dan minyak. Dia memperoleh penghasilan yang besar dari sana. Di luar
pertambangan, mesin uangnya di bidang lain juga cukup banyak. Pengusaha
ini memiliki hotel bintang lima di Detroit, berbagai toko, termasuk sebuah toko
sepatu.

Saya sering bertemu dengannya, bahkan berbincang di rumahnya di kawasan
Detroit itu. Dia orang yang ramah dan selalu mau berbagi pengetahuan tentang
mengelola bisnis yang benar. Suatu ketika, saya sedang bersama Randall di
Detroit. Datanglah seorang tukang pos mengantarkan surat untuk Randall.
Sebelum surat itu dibuka, Randall menyatakan kepada saya bahwa isi surat itu
adalah selembar cek. Saya penasaran.

Dibukanya amplop itu, dan diperlihatkan ke saya. Sebuah cek senilai 1.400 dolar
AS. Jumlah yang sangat sedikit untuk pengusaha besar sepertinya. Saya heran.
Pengusaha yang memiliki penghasilan besar di pertambangan, hotel dan aneka
bisnis lain masih mau mengurusi nominal sekecil itu. Ekspresi heran saya pasti
sangat terlihat. Dengan lugas, Randall menjawab pertanyaan yang bahkan tidak
saya lontarkan. Dia lantas bercerita tentang pohon uang.

Randall Book menanam pohon uang dan memupuknya, sehingga memiliki
batang utama yang besar dan kokoh. Dari batang pohon itu kemudian tumbuh
banyak cabang. Kemudian, dari masing-masing cabangnya tumbuh pula rantingranting.
Pada saatnya, setiap ranting, cabang dan batang pohon itu semuanya
menghasilkan uang. Batang yang besar menghasilkan uang yang paling besar,
dan sekaligus berperan sebagai mesin uang utama. Cabang-cabangnya juga
menghasilkan uang, meskipun nilainya tidak sebesar yang dihasilkan batang
utama. Begitu juga dari ranting-rantingnya, semua juga menghasilkan uang,
walaupun nilainya hanya 1.400 dolar setiap rantingnya. Jumlah itu bisa jadi
kecil. Tapi, jika pohon itu memiliki sangat banyak ranting dan setiap rantingnya
menghasilkan 1.400 dolar sebulan, berapa banyak yang akan dihasilkan. Masih
angka kecil? Tentu bukan lagi.

Saya belajar banyak darinya. Dia banyak menasihati saya untuk selalu
membahas pengembangan bisnis setiap hari. Dia juga wanti-wanti agar saya
tidak menyepelekan hal-hal yang kecil, karena sesungguhnya dari hal yang
kecillah sesuatu yang besar berasal. Katanya, ”Jika kita bodoh dalam hal yang
kecil, kemungkinan kita juga akan bodoh dalam hal yang besar.”

Karena itu, di Balimuda saya mempraktikkan apa yang diajarkan Randall. Pohon
uang yang dibangun Randall saya kembangkan juga di sini. Bahkan, saya juga
menanam pohon ilmu. Dalam mengembangkan pohon uang, setiap hari saya
membahasnya bersama istri dan orang-orang di sekitar saya. Banyak rencana
yang kami buat. Sebagian sudah terwujud dan sebagian lagi masih dalam
proses.

Untuk pohon uang di Balimuda, batang utama yang menghasilkan uang besar
bagi kami adalah bisnis di bidang plantation. Cabang-cabang yang kami
bangun kini sudah mulai kami rasakan hasilnya adalah dari bisnis consumer
good, property, perkebunan rakyat, restaurant dan beberapa bidang investasi.
Kami terus memupuk pohon uang itu dengan berbagai rencana dan keputusan
matang. Kini, ranting-rantinya juga mulai mendatangkan hasil.

Berikutnya adalah pohon ilmu. Bersama para pengusaha muslim lainnya kami
telah mendirikan Indonesian Islamic Bussiness Forum atau IIBF. Harapan saya,

IIBF ke depan akan menjadi batang utama bagi saya untuk melakukan dakwah
dan syiar keilmuan. Banyak prinsip dan semangat yang ingin saya sebarkan
kepada teman-teman pengusaha di seluruh Indonesia. Cabang-cabang dari
IIBF yang sudah mulai berjalan saat ini antara lain adalah munculnya gerakan,
workshop, seminar, coaching dan penerbitan buku. Ranting-rantingnya berupa
pengajian bisnis yang kini mulai menyebar ke berbagai daerah di Indonesia.
Dalam pengajian ini, para pengusaha Muslim saling menguatkan untuk samasama
membangun bisnis yang kuat, bersih dari riba, dan berdasarkan ketentuan
Islam.

Saya hendak mengakhiri bahasan tentang mengelola uang ini dengan kisah
tentang Warren Buffett. Dia menjadi pengusaha dan investor paling kaya di
dunia, setelah menggeser Bill Gates dari daftar orang terkaya di tahun 2008.
Pohon uang Buffett berasal dari bisnis membeli dan menjual perusahaan. Dia
adalah master sejati di bidang itu.

Suatu hari, seorang mitra bisnis mengajak Buffett main golf. Agar suasana
di lapangan seru, biasanya para pemain golf membuat taruhan kecil-kecilan.
Mitra Buffett mengajaknya bertaruh sama rata, yaitu 100 dolar. Jumlah yang
sangat kecil bagi mereka. Tapi Buffett menolaknya. Penasaran, mitranya itu
menawarkan taruhan 100 dollar untuk Buffett dan 500 dollar untuknya. Lagilagi
Buffett menolak tawaran tersebut. Mitranya kian penasaran. Di menaikkan
tawaran. Buffett cukup memasang taruhan 100 dolar dan dirinya 1000 dolar.
Buffett tetap menolak.

Mitranya yang penasaran itu minta penjelasan. Lazimnya, dalam taruhan
masing-masing petaruh memasang nilai yang sama. Sementara saat itu,
Buffett cukup memasang 100 dolar berbanding 1000 dolar. Jika dia menang,
maka keuntungannya akan berlipat sepuluh. Dan jawaban Buffett sangat
mencengangkan.

“Stupid in small, stupid in big. I’m an investor and I’m not a gambler.” Biasa
bertindak bodoh dalam hal remeh akan membuatmu bertindak bodoh dalam
hal besar. Bisa Anda bayangkan. Orang terkaya di dunia masih mau memikirkan
uang 100 dollar. Dia bisa menyumbangkan uang dalam jumlah besar melalui
berbagai yayasan sosial miliknya, tapi tak rela kehilangan sepeserpun untuk
taruhan yang tidak bermakna. Faktanya, jika seseorang tidak pernah mengurusi
hal yang kecil, maka dia tidak akan pernah mampu mengurusi hal yang besar.
Jika dia bodoh dalam hal kecil, maka dia akan ceroboh dalam hal yang besar.

Jadi, siapa seharusnya yang menjadi ahli keuangan Anda? Jawabannya pasti:
Anda sendiri!

Baca Juga :

Strategi Membangun Kekakayan Tanpa Riba part5

PERTANYAAN 5
SEBERAPA MURAH BIAYA HIDUP ANDA?

Suatu saat, seorang ustadz memperkenalkan saya dengan seorang pengusaha.
Sebelumnya, saya hanya pernah berbicara dengannya melalui telepon. Dia
bukan pengusaha kecil-kecilan. Tak kurang dari tambang emas, perkebunan,
dan aneka perusahaan lain dimilikinya. Penghasilannya mencapai puluhan miliar
rupiah per bulan. Kabarnya, dia sampai bingung, uangnya itu mau dia pakai apa
lagi. Sejumlah rumah megah dan mobil mewah dia miliki, cincin seharga Rp 500
juta lebih menghiasi jarinya. Hobinya mengoleksi berbagai benda antik seperti
lukisan seharga Rp 35 miliar hingga gading gajah kuno Afrika. Semua terbeli,
seperti kerupuk.

Itu dulu. Ketika akhirnya dia berjumpa dengan saya, yang ada tinggal keluh kesah.
Yang dia sebut-sebut hanya utang dan utang. Rp 26 miliar harus lunas dalam
tempo enam bulan, tanpa dia tahu mau dibayar dari mana. Usaha tambang
emasnya tak lagi bersinar, bahkan mulai berkarat. Padahal, di masa kejayaannya,
“karat” adalah kata favoritnya. Di saat yang sama, lini perusahaannya yang lain
ikut surut. Uang tunai tak lagi di tangan, habis untuk membayar tagihan. Koleksi
benda antiknya tak bisa jadi solusi. Macet total.

Bayangkan, seorang pengusaha dengan penghasilan puluhan miliar per bulan,
kini berada di titik nol. Tabungan nol, penghasilan nol. Tahukah Anda, mengapa
bisa terjadi? Gaya hidup. Itu biang keladinya. Kemewahan dan gaya hidup mahal
yang dipilihnya membuat sang pengusaha tidak menghargai uangya dengan
cara yang benar. Dia lupa menabung secara rutin, melakukan investasi yang
sehat, dan lupa membangun kekayaan yang sesungguhnya. Gaya hidup mahal
memangsanya seperti silent killer. Hidup mewah membuatnya terbuai dalam
kenyamanan tingkat tinggi. Padahal, di saat yang sama, penghasilannya kian
keropos, dan sumbu bom waktu mulai menyala. Berikutnya mudah ditebak.
Tanpa bisa dicegah, kini dia dan keluarganya hidup dalam kemiskinan.

Satu kisah lagi. Kali ini bukan dari kalangan pengusaha. Teman saya, seorang
profesional lulusan Jerman yang cemerlang. Di puncak karirnya, posisi direktur
sebuah perusahaan otomotif memberinya penghasilan tak kurang dari
Rp 100 juta sebulan. Lazimnya direktur, dia memperoleh fasilitas mobil dinas
dari perusahaan. Tapi dengan penghasilannya yang cukup besar, ia merasa
perlu membeli mobil mewah juga. Toh uangnya ada dan cukup. Dia merasa
lebih percaya diri setelah dua mobil mewah mengisi garasinya. Rumah besar di
kawasan perumahan elit itu terasa lengkap.

Sayangnya, sebuah pertemuan yang tak disengaja membuat saya terhenyak.
Awal tahun 2009 yang lalu, saya dapati dia sedang berjalan kaki dan mondar mandir
menunggu taksi. Gaya menterengnya sudah luntur sama sekali.
Pemandangan itu membuat saya pilu. Pasalnya, saya juga kenal banyak mantan
anak buahnya, dan mereka hidup nyaman. Padahal ketika masih bekerja di
perusahaan otomotif itu, penghasilan mereka jelas lebih kecil dibanding sang
direktur. Lagi-lagi gaya hidup yang jadi biang keladinya!

Guru-guru di kampung saya, di Desa Bawang, Batang, mempunyai penghasilan
sekitar Rp 1,3 juta sebulan. Dengan jumlah itu, mereka bisa memenuhi kebutuhan
keluarga. Ketika pemerintah berjanji hendak menaikkan gaji guru hingga Rp 2
juta sebulan, banyak yang berpikir bakal bisa menabung. Setidaknya Rp 300.000
sebulan. Faktanya, begitu gaji guru betul-betul naik, ternyata menabung tetap
barang langka. Gaji mereka naik nyaris 100%, tapi para guru itu tetap merasa
kurang dengan penghasilannya.

Utang buruk membuat banyak orang kehilangan kehidupan karena
dikejar-kejar debt collector. Contoh utang buruk yang paling banyak di
Indonesia adalah kartu kredit. Lebih berbahaya lagi karena kartu kredit
dianggap sebagai gaya hidup. Batas pinjaman yang ada dalam kartu
kredit sering dianggap sebagai batas spending. Yang dipikirkan oleh
pemegangnya bukanlah berapa sisa yang harus dibayar, tetapi berapa
batas yang bisa dihabiskan.

Tiga kisah nyata di atas mengundang pertanyaan besar: mengapa? Mengapa
orang yang bertahun-tahun bekerja keras, bahkan dengan penghasilan yang
luar biasa besar, ternyata tidak bisa jadi orang kaya? Sebaliknya, mengapa orang
yang berpenghasilan biasa saja justru bisa kaya, dan hidupnya lebih nyaman
tanpa dikejar-kejar utang?

Sebenarnya, kisah yang lebih tragis pun saya alami. Bersemangat membangun
usaha, gagal, terlilit utang, dan dikejar debt collector adalah episode pahit dalam
hidup saya. Ya. Saya pernah terjerembab ke lubang utang yang sangat dalam.
Ketika sempat bangkit, saya kembali jatuh untuk kedua kalinya, bahkan dengan
beban utang yang lebih besar. Saya selalu mengenang masa itu sebagai titik
paling kritis dalam hidup saya.

Alhamdulillah, saya akhirnya bisa bangkit perlahan-lahan. Dengan perbaikan
di sana-sini, saya bangkit dengan pengetahuan, pengalaman, dan mentalitas
yang lebih tangguh. Ternyata, pengalaman saya saat jatuh bangun diperhatikan
oleh teman-teman sesama pengusaha, dan mereka sering datang ke saya untuk
berbagi cerita. Apa saja yang biasa kami perbincangan? Simak yang berikut ini.

Menurut saya, membangun kekayaan pribadi, kekayaan keluarga, kekayaan
perusahaan, atau membangun kekayaan bangsa sekalipun, prinsipnya sama.
Sama-sama sederhana. Menjalankan prinsip sederhana ini memang tidak
selalu mudah; tapi menjalankan prinsip yang rumit sudah tentu susah. Sebelum
membahasnya, mari kita telusuri beberapa kesalahan berpikir yang lazim di
masyarakat kita :

• Jika penghasilan naik, maka kesejahteraan akan meningkat, berarti semakin
kaya
• Jika penghasilan semakin tinggi maka hidup jadi semakin mudah
• Jika penghasilan semakin tinggi maka tabungan semakin banyak

Kenyataannya, yang lebih sering terjadi tidak seperti itu. Banyak orang yang
jatuh miskin justru setelah penghasilannya meningkat. Kehidupannya juga
semakin rumit, utangnya bertambah banyak. Penghasilan yang semakin besar
jadi memudahkan mereka mengubah gaya hidup. Merasa mampu membayar,
mereka berani hidup dengan standar yang lebih mahal. Semakin lama semakin
terlena dan semakin berani.

Peningkatan pendapatan yang mereka peroleh lebih banyak digunakan untuk
membiayai life style mereka yang baru. Ujung-ujungnya, gaya hidupnya itu
menuntut ongkos yang jauh lebih tinggi dari kenaikan income-nya. Dan
sayangnya, orang yang sudah terlanjur menikmati nyamannya peningkatan
gaya hidup akan sangat sulit meninggalkannya. Akibatnya, dia akan melakukan
apapun untuk mempertahankannya. Tak sanggup rasanya jika harus kembali
ke gaya hidup lama, sebelum penghasilannya meningkat. Sudah duduk lupa
berdiri.

Anda masih ingat kisah pak Herman, pedagang brownies kering kita? Setelah
usaha kulinernya beranjak maju, gaya hidupnya melaju lebih kencang. Dia salah
memperlakukan uangnya. Berkaca pada kisah hidupnya, mari kita lihat tiga
macam mentalitas orang terhadap uang :

1. Mentalitas Miskin
Golongan pertama adalah orang dengan mentalitas miskin. Begitu
memproleh penghasilan, prioritas pertama dan utamanya adalah segera
menghabiskannya! Ajaibnya, dia bahkan lihai menghabiskan penghasilan
yang belum ada di tangan. Orang bermental miskin selalu ingin merasakan
pengalaman memiliki sesuatu. Dalam kurun waktu yang lama, dia harus
membatin harap, andai aku bisa beli itu...

Begitu ada uang lebih, mereka bergegas memuaskan keinginannya itu.
Orang dengan mentalitas miskin tak pernah peduli dengan jumlah yang
harus harus dibayar. Dia hanya menghitung, apakah penghasilannya cukup
untuk membayar cicilannya atau tidak. Di Jawa Timur, saya menemukan Bank
Thithil, di Jawa Tengah ada istilah Bank Thengel atau Bank Plecit. Nasabah
setia mereka adalah orang-orang miskin dengan mentalitas miskin.

Perhitungannya begini :
Dari utang yang diajukan Rp. 100.000,00 “nasabah” menerima tunai
Rp. 90.000,00. Biaya administrasi Rp. 10.000,00 langsung dipotong oleh
“bank”. Cicilan yang harus dibayar adalah Rp. 4.000,00 setiap hari selama 30
hari. Berapa totalnya? Peminjam harus membayar Rp. 120.000,00 dari utang
yang sebenarnya hanya Rp. 90.000,00. Anda bisa hitung berapa bunganya?
30% per bulan! Tinggi sekali.

Utang itu seperti anak-anak. Semakin kecil semakin senang menciptakan
kegaduhan.~ peribahasa Spanyol ~

Ironisnya, orang kaya tidak akan membayar bunga sebesar itu, namun orang
miskin mampu! Tak ada tanda bahwa “bank-bank” yang terang-terangan
memakai sistem riba itu bakal hilang dari masyarakat. Kehadiran mereka
selalu dinantikan, walau disertai dengan rangkaian keluhan. Hubungan riba
dengan pemakainya persis seperti pengedar narkoba dengan pecandunya.
Dibenci, tapi selalu dicari.

Di Semarang, saya tahu ada seorang tukang tambal ban. Setiap hari, dia
harus membayar Rp 25.000,00 kepada rentenir berkedok bank ini. Setiap hari,
di sepanjang hidupnya, hanya hari Minggu dia bisa bebas sejenak dari cicilan.
Utang apakah itu gerangan? Ternyata, ketika hendak menikahkan anaknya,
dia memutuskan untuk membuat syukuran kecil-kecilan yang akhirnya
berkembang menjadi rencana pesta. Dengan harapan memperoleh uang dari
hadiah pernikahan, dia nekat mengajukan utang ke bank rentenir sebesar
Rp10.000.000,00. Perjanjian ditandatangani, dia menerima saja ketentuan
cicilan harian Rp25.000,00 sekian ratus kali. Entah karena menganggap
jumlah itu kecil atau tak punya pilihan lain, dia mengiyakan.

Hanya beberapa hari setelah pesta yang meriah itu, setoran harian mulai
berjalan. Dia harus menyerahkan sebagian besar penghasilannya yang hanya
tiga puluh sampai empat puluh ribu rupiah itu setiap hari. Sampai kapan?
Dia sendiri tak tahu. Seluruh hidupnya telah dia gadaikan demi gengsinya,
menggelar pesta pernikahan. Bukan hanya itu, dia bahkan melukai ikatan
suci pernikahan anaknya dengan riba yang nyata-nyata diharamkan agama.

“Running into debt isn’t so bad. It’s running into creditors that hurts.”
~ anonim ~

Lantas, apakah orang miskin saja yang punya mentalitas miskin? Ternyata
tidak! Banyak orang yang berpenghasilan besar menjadi miskin karena
memiliki mentalitas miskin. Mereka jatuh miskin karena tidak mau berhitung
dengan biaya yang harus ditanggung untuk setiap keputusannya. Mereka
berani bermain di wilayah berbahaya, dan akhirnya menggadaikan hidupnya
kepada riba.

SPENDING adalah fokus utama orang bermental miskin. Dia selalu ingin
membeli sesuatu, memiliki sesuatu, atau melakukan sesuatu. Sayangnya, dia
melakukannya tanpa pernah menghitung apakah dia memiliki uangnya atau
tidak. Toh setiap kali saya kekurangan uang, saya masih bisa ngutang, begitu
pola pikirnya. Kalaupun hidupnya dan hidup keluarganya harus tergadai
demi keputusannya, itu urusan belakangan. Dia bukan tidak tahu. Sepanjang
sejarah, terlalu banyak contoh kasat mata berlalu di hadapannya. Banyak
orang yang dikenalnya terjerat riba dan sengsara. Tapi, dia terlalu yakin,
bahwa kekonyolan itu tak akan pernah menimpanya.

Orang dengan mentalitas miskin tidak pernah terlepas dari utang. Bahkan
sebelum utangnya yang satu selesai, dia selalu berhasrat untuk berutang
lagi. Utang itu sama sekali bukan untuk investasi, tapi untuk membiayai
hidupnya. Orang dengan mentalitas ini tidak akan pernah menjadi orang
kaya, dan akan tetap miskin hingga akhir hayatnya. Keadaannya tak akan
berubah walau sebanyak apapun uang di tangannya. Misalnya, suatu saat dia
memperoleh warisan atau menang lotere. Rekeningnya mendadak gemuk
oleh rupiah. Anda bisa tebak, apa yang pertama kali dia lakukan? SPENDING!

Dalam satu atau dua tahun, dia akan kembali pada kehidupannya semula,
tetap miskin. Bahkan lebih miskin. Intinya, berapapun uang yang ada di
tangannya, yang dia lakukan adalah menghabiskannya. Rencana masa depan
tak pernah ada dalam kamus hidupnya. Yang dia tahu adalah right here, right
now.
“Orang miskin fokus pada spending”

Keterangan gambar :
Begitu ada income dari pemberian, gaji, atau utang, uang tersebut langsung

dihabiskan untuk expense.

2. Mentalitas Middle Class
Golongan kedua adalah orang dengan mentalitas middle class, atau kelas
menengah. Mereka berpenghasilan tinggi dan terlihat kaya. Saya ulangi:
terlihat kaya. Orang-orang dari kelas ini cenderung fokus untuk terlihat
kaya. Bukan menjadi kaya yang sesungguhnya. Artinya, mereka tidak tahu,
perbedaan antara kaya dan terlihat kaya. Sukses dengan terlihat sukses.
Semua aset dan energi mereka curahkan untuk mempermak penampilan
agar dipandang “wah” oleh orang lain. Dan di saat yang sama, mereka lupa
membangun kesuksesan yang sesungguhnya.

Ekonomi adalah darah kehidupan. Siapa yang belum merdeka dalam
ekonomi kemungkinan besar belum merdeka dalam kehidupan.
Temukan rahasia bagaimana membangun bisnis dengan pintar, kapan
menggunakan utang, utang seperti apa yang harus dihindari, dan
bagaimana menguasai strategi jitu untuk keluar dari lilitan utang, dan
hidup benar-benar kaya!

Coba Anda perhatikan. Jika suatu saat Anda melihat teman SMA, setelah
belasan tahun berpisah. Dia sedang ngopi di sebuah kafe mahal. Di dekat
cangkir kopinya tergeletak smart-phone terbaru dan kunci mobil mewah. Apa
yang pertama kali Anda pikirkan? Kemungkinan besar Anda akan menduga
bahwa dia sudah jadi orang sukses. Apalagi jika Anda mengingatnya sebagai
murid pandai di kelas, atau anak orang kaya. Semoga dugaan Anda benar.
Jika ternyata tidak, maka teman Anda itu ada di golongan middle class.

Yang menjadi fokus orang-orang di kelas menengah ini adalah life style. Yang
mereka perjuangkan adalah gaya hidup. Bahkan, gaya hidupnya adalah cara
hidupnya, ideologinya. Yang selalu membuatnya risau adalah penilaian orang
lain. Apapun akan dilakukannya untuk terlihat sukses di mata orang lain.
Akibatnya, dia akan menghabiskan sebagian besar penghasilannya, bahkan
berutang demi membiayai gaya hidupnya.

Sebagian dari mereka adalah orang yang pernah memiliki penghasilan
tinggi, atau punya uang banyak. Ketika kemampuannya mengelola uang
tidak bisa jadi sandaran, maka sebanyak apapun uangnya, dia akan menuju
kemiskinan. Masalahnya, mereka terlanjur yakin bahwa gaya hidup mahal
adalah andalannya untuk tampil percaya diri. Dia harus berjuang untuk
mempertahankannya. Akhirnya, biaya hidupnya yang mahal mengalahkan
segala prioritas, termasuk menabung dan berinvestasi

Ironisnya, orang-orang middle class juga menjadikan investasi sebagai gaya
hidup. Dia sangat ingin disebut orang kaya, dan punya banyak investasi.
Dengan tujuan itu, dia serahkan uangnya untuk dikelola orang lain, dengan
harapan memperoleh keuntungan berlipat. Kenyataannya, orang-orang dari
kelas menengah ini banyak yang kehilangan uang saat investasi maupun saat
mengelola bisnis sendiri. Dia tak pernah peduli pada investasi yang dipilihnya,
ataupun bisnis yang dijalankannya. Dia pikir, uangnya akan bekerja sendiri
dan menyetorkan keuntungan baginya. Lebih dari itu, uang yang semestinya
difokuskan ke investasi atau bisnis seringkali dia preteli untuk membayar
gaya hidup mewahnya tadi.

Para pengusaha cenderung tidak terganggu dengan gaya hidup. Mereka
peduli dengan uangnya, dan berusaha memanfaatkannya dengan bijak

Seorang direktur di sebuah perkebunan skala nasional, yang sangat ahli
di bidangnya, dan menjadi komisaris di mana-mana, tinggal di kawasan
perumahan Pondok Indah Jakarta. Rumah itu sama sekali bukan miliknya.
Dia menyewa, dan harus membayar Rp 800 juta setahun.
“Mas, Anda tidak tertarik untuk membeli rumah?”, tanya seorang kawan.
“Suatu saat saya pasti akan membeli rumah,” jawabnya sambil tersenyum.
“Mengapa suatu saat? Anda sebenarnya sudah bisa membeli rumah sejak
tahun kemarin.”
Percakapan itu tak perlu berlanjut. Kawannya langsung paham bahwa sang
direktur sangat peduli dengan gaya hidupnya. Kawasan Pondok Indah
memang identik dengan hunian orang-orang kaya. Demi ingin merasa kaya
dan dianggap kaya, dia rela tinggal di sana dengan menyewa rumah Rp
800 juta setahun. Padahal, dengan uang sebesar itu, dia sudah bisa membeli
rumah yang layak.

Teman saya mempunyai adik yang berprofesi sebagai artis. Adiknya itu hobi
mengendarai motor besar. Tunggangan sangar itu dia beli dengan harga tak
kurang dari Rp. 400 juta, dan dia terlihat sangat menikmati kehidupannya.
Tak ada yang menyangka, kalau untuk hidup sehari-hari, dia mengandalkan
kartu kredit, utang kesana kemari, termasuk ke kakaknya. Miris sekali.

Saya sendiri sering terbang ke luar negeri, untuk keperluan bisnis, konferensi,
maupun jalan-jalan dengan keluarga. Sesekali saya mengamati, banyak rekan
pengusaha yang memilih fasilitas penerbangan tiket kelas ekonomi atau
bisnis. Di saat yang sama, ada beberapa orang yang selalu memilih tiket kelas
bisnis dan first class. Siapakah mereka? Mereka adalah para eksekutif yang
bekerja di perusahaan-perusahaan besar. Artinya, para pengusaha cenderung
tidak terganggu dengan gaya hidup. Mereka peduli dengan uangnya, dan
berusaha memanfaatkannya dengan bijak. Sebaliknya, kalangan menengah
sangat risau jika merasa gaya hidupnya turun. It’s all about life style!

Middle Class membelanjakan uangnya untuk menciptakan kewajiban baru,
yakni utang baru. Middle class sangat suka terlihat kaya. Padahal, ongkos
untuk terlihat kaya itu jauh lebih mahal daripada menjadi kaya!
“Middle class fokus pada life style”
Keterangan Gambar:
Begitu ada income, sebagian besar akan digunakan untuk membeli gaya
hidup yang menciptakan kewajiban atau liability; dan akhirnya menjadi biaya
yang harus dibayar.

Bagaimana akhir kisah orang-orang middle class ini? Dengan penghasilan
yang tak pernah cukup—sebanyak apapun digitnya—mereka tak punya
anggaran untuk investasi atau membangun bisnis yang sehat. Semua habis
demi kendaraan mewah, hobi mahal, gadget canggih, dan penampilan
mentereng. Walaupun tahu bahwa mereka hanya mengulur waktu, tapi
menghentikan gaya hidupnya bukan hal yang mudah. Cepat atau lambat,
secara teknis orang-orang ini akan berakhir bangkrut dan hidup dalam
kemiskinan. Sedih sekali. Mereka menghadang semua resiko demi terlihat
kaya, namun berakhir menjadi orang miskin yang sesungguhnya.

3. Mentalitas Kaya
Orang dengan mentalitas orang kaya mengubah income menjadi aset.
Dengan perhitungan yang cermat, aset itu dikelola dan berkembang,
sehingga kembali menghasilkan income. Dari income itu, proyeksi utamanya
adalah untuk dijadikan aset lagi. Begitu seterusnya. Uangnya akan terus
berkembang dari berbagai arah. Tak heran jika kemudian muncul istilah
“yang kaya makin kaya”.

Orang kaya fokus pada INVESTASI. Lantas, apakah ini berarti orang kaya tak
peduli pada gaya hidup high class? Banyak orang kaya yang menggunakan
kendaraan mahal, tinggal di rumah besar, dan menikmati hobi yang mahal.
Sah-sah saja. Toh gaya hidup mereka tidak melebihi kemampuannya, dan
apa yang kini dia nikmati adalah buah dari ketekunan yang panjang. Lebih
dari itu, mereka memang mampu membayarnya. Gaya hidupnya tidak akan
pernah mengganggu arus kasnya. Semua sudah dialokasikan dengan cermat.

Namun demikian, sejauh pengamatan saya, orang kaya (yang benar-benar
kaya) lebih cenderung bersahaja. Mereka menghargai uangnya, dan tak
ingin menghamburkannya hanya demi kesenangan sesaat. Lihatlah orang
orang terkaya di dunia. Mereka hidup sepantasnya. Selebihnya, sebagian
besar uang mereka dialokasikan untuk membantu orang lain. Sahabat saya,
Randall Book adalah pengusaha yang tinggal di Detroit, Michigan, Amerika
Serikat. Dia pemilik Westin Detroit Hotel, beberapa perusahaan yang bergerak
di bidang property, dan sebuah tambang minyak di Amerika Serikat. Suatu
ketika, saya mengundangnya ke Jakarta. Saya tertegun ketika mendapatinya
menggunakan tiket pesawat kelas ekonomi. Dengan enteng dia berkata,
“Wah sayang, selisihnya banyak. Kan bisa disumbangkan untuk orang yang
membutuhkan”.

Saya kagum. Seorang Randall Book, yang penghasilannya sangat tinggi,
tak segan menggunakan tiket penerbangan kelas ekonomi. Sebagian besar
hidupnya diabdikan untuk kepentingan sosial. Yayasan kanker yang dia
pimpin telah menolong ratusan ribu orang di Amerika.

Kini kita ke Karawang. Saya mengenal seorang dokter yang sukses. Ternyata,
orangtuanya adalah petani biasa. Hidup mereka bersahaja, layaknya petani
pada umumnya. Pasangan petani ini dikenal memiliki sawah yang sangat
luas di daerah Karawang. Saat kami bertemu, sang dokter menceritakan
bagaimana perjuangan ayah ibunya sejak dia masih kecil. Kesederhanaan dan
kedisiplinan selalu mewarnai hidup mereka. Dulu, sawah orang tuanya tidak
seberapa luas. Setiap kali panen, orang tunya selalu menyisihkan sebagian
hasilnya untuk ditabung. Ketika tabungan telah cukup, mereka membeli
sawah lagi. Begitulah hingga hari ini. Kini, setiap kali panen, petani sederhana
itu mampu membeli dua hingga tiga hektar sawah baru. Dari gaya hidupnya
yang sederhana dan displin itulah, kedua anaknya berhasil menjadi dokter.
Bahkan, berkat bantuan orang tuanya, sang dokter bisa mendirikan sebuah
rumah sakit yang cukup besar di Karawang.

Orang kaya sangat cermat membedakan antara asset (harta) dan liability
(kewajiban).

Orang bermental kaya cerdas dalam berinvestasi. Mereka tidak selalu orang
yang berpenghasilan besar atau keturunan orang kaya. Dengan tekun, sesedikit
apapun jumlahnya, mereka menginvestasikan waktu dan uangnya. Setiap
memperoleh penghasilan, selalu ada uang yang disisihkan untuk ditabung.
Dan ketika ada peluang investasi, maka tabungannya sudah siap digunakan.
Yang juga perlu ditiru, orang bermental kaya lebih memilih melakukan
investasi sendiri, karena investasi merupakan bagian dari kehidupannya. Dia
tak tergiur oleh bujukan makelar investasi yang menjanjikan untung besar
dalam sekejap. Dia konsisten menginvestasikan uangnya di bidang yang
mereka kuasai, yang menjadi kompetensinya. Petani yang bermental kaya
tadi, sangat cerdas memilih sawah sebagai cara investasinya.

Orang kaya sangat cermat membedakan antara asset (harta) dan liability
(kewajiban). Sesuatu yang bisa menghasilkan uang adalah aset, dan sesuatu
yang menghabiskan uang adalah liability. Sesederhana itu. Kendaraan tidak
akan dianggapnya asset jika hanya bisa menghabiskan uangnya. Dia baru
menyebutnya asset jika kendaraan itu menghasilkan uang.

“Orang kaya fokus pada investasi”

Keterangan Gambar:
Sesuatu yang bisa menghasilkan uang adalah aset, dan sesuatu yang
menghabiskan uang adalah liability.

Kaya dan miskin adalah pilihan
Jika saya menyebut kata “kaya” atau “miskin”, maka yang saya maksud bukanlah
sebuah keadaan yang sedang Anda alami, atau titik tempat Anda berada saat
ini. Kaya atau miskin adalah sebuah perjalanan. Lebih jelas lagi, kaya atau miskin
adalah sebuah mentalitas, sebuah pilihan. Apakah kita memilih untuk hidup
dengan mentalitas kaya atau sebaliknya. Kita sudah bahas di bagian sebelumnya.
Pilihan kita itulah yang akan menentukan, apakah kita akan hidup sebagai orang
kaya atau miskin. Tentu kita ingin memiliki mentalitas kaya, sehingga bisa hidup
dengan lebih banyak harta dan rasa lapang.

Semua orang pasti ingin kaya, namun hanya sedikit yang benar-benar
berkomitmen untuk membangun kekayaan. Ingin kaya tanpa membangun diri
untuk mempunyai mentalitas kaya adalah mimpi di siang bolong. Milikilah
impian namun jangan hanya bermimpi! Imajinasi bisa mendatangkan berbagai
ide kreatif, tapi hanya tindakan nyata yang mampu mewujudkannya. Tak akan
ada uang mengalir ke rekening Anda tanpa Anda bekerja, dan mengelola
penghasilan Anda dengan jitu.

Kita sudah belajar dari berbagai kasus di atas, bahwa penghasilan besar dan
uang banyak tidak serta merta membuat kita benar-benar kaya. Anda juga
akan dengan mudah menemukan orang yang awalnya tampak kaya, namun
pada akhirnya terjerat utang dan harus bersembunyi dari kejaran debt collector.
Orang seperti ini hanya memiliki kehidupan semu, dan tak akan bertahan lama.

Michael Jackson, misalnya. Raja Pop ini mengawali karier profesionalnya di usia
10 tahun. Di puncak ketenarannya, MJ pernah dibayar lebih dari tiga ratus
miliar rupiah sekali manggung. Berapa kali dia pentas dalam setahun? Tak
terhitung! Album-albumnya laris manis di pasaran. Dia hidup dalam gelimang
kemewahan yang selalu jadi sorotan media. Dan di akhir hayatnya, MJ dikabarkan
meninggalkan utang lebih dari U$ 500 juta, atau lebih dari Rp 5 triliun rupiah!

Kita juga bisa berguru kepada orang-orang yang tak punya banyak uang,
namun berkat ketekunan dan mentalitas kaya, dia bisa membangun kekayaan
yang sesungguhnya. Pengalaman pahit seseorang yang pernah tergelincir juga
bisa kita cermati. Dengan cara pandang yang benar dan ketekunan, banyak
yang berhasil bangkit kembali dan hidup kaya.

Semua orang pasti ingin kaya, namun hanya sedikit yang benar-benar
berkomitmen untuk membangun kekayaan.

Donald Trump sempat terperosok ke palung utang. Tapi bagi orang bermental
kaya, sedalam apapun dia jatuh, pasti bisa segera bangkit. Trump mewarisi
bisnis dari ayahnya ketika tahun 1970-an, dan mengembangkannya menjadi
jauh lebih besar. Tahun 1990, ketika dunia dilanda resesi, bisnisnya ikut
terlibas. Satu demi satu perusahaannya menghadapi kesulitan keuangan.
Kewajibannya untuk membayar utang di bank mulai tersendat. Utang baru yang
ditandatanganinya tak banyak membantu. Semua usaha Donald Trump mulai
dari perhotelan, kontraktor, kasino dan yang lain nyaris bangkrut. Pengusaha ini
harus menanggung utang sebesar US$ 9 miliar!

Bagi pengusaha sekaliber Donald Trump sekalipun, bisnis yang nyaris gulung
tikar dan utang menggunung tetap masalah pelik. Meskipun begitu, dia tetap
merasa bahwa dirinya jauh lebih besar dari masalah yang dia hadapi. Karenanya,
walaupun dalam kondisi resesi, Donald Trump terus berusaha bangkit dan
mencari peluang baru. Dan seperti yang Anda saksikan sekarang, dia berhasil!

Hiduplah semurah mungkin!
Sekarang, mari kita telisik lebih lanjut, apa lagi yang disebut dengan mentalitas
orang kaya. Di bagian sebelumnya, kita sudah belajar bahwa orang yang
bermental kaya selalu memperbesar wadah, mendahulukan yang lebih penting,
meneguhkan komitmen, dan fokus.

Dari kisah perih dan kisah sukses orang-orang yang memiliki pandangan
berbeda tentang gaya hidup, kita bisa mengajukan sebuah pertanyaan penting :
seberapa murahkah hidup kita?

Seseorang yang berpenghasilan besar bisa dengan mudah jatuh
miskin jika gaya hidupnya menyedot sebagian besar penghasilannya.
Sebaliknya, orang yang berpenghasilan kecil punya peluang besar
untuk kaya jika dia bijak menahan dirinya dari hasrat untuk terlihat
kaya. Hidup semurah mungkin, itulah kuncinya. Hiduplah sederhana.

Mari kita belajar, bagaimana cara meningkatkan sistem pengendalian diri dalam
kehidupan, sekaligus menciptakan simplicity. Sebagian besar orang paham
bagaimana cara mencari income. Namun kita sudah membuktikan bahwa
income yang tinggi tidak menjamin seseorang menjadi kaya. Jadi, yang sering
terjadi bukanlah kesulitan memperoleh penghasilan, tapi kesulitan menjaga
uang agar tidak hilang atau menguap.

Banyak contoh yang kita saksikan, yang dekat ataupun yang jauh, bahwa
membiayai gaya hidup hanya akan berujung bencana. Orang bijak belajar
dari pengalaman orang lain, dan tindakan bijaknya akan menjadi
contoh bagi orang yang lain lagi.

Di bagian keeping money dan saving money inilah banyak orang gagal
melakukannya. Yang sering membuat seseorang selalu tergoda untuk
menghabiskan uangnya adalah tidak adanya disiplin dalam pengendalian diri,
dan keahlian untuk menjaga uang. Saya ulangi, menjaga uang. Istilah ini perlu
saya sampaikan karena makna menabung sudah banyak disalahpahami. Orang
menabung dengan tujuan sekedar memindahkan uang dari laci atau dompet ke
rekening bank. Sesudahnya, pola pengeluarannya tak ada bedanya dengan saat
uang itu berupa tunai di tangan.

Jadi keeping money menuntut keahlian dan disiplin yang kuat. Pengendalian
diri menjadi benteng utama. Sebesar apapun income seseorang, jika dia gagal
meningkatkan pengendaliannya, maka dia tak akan pernah kaya. Dia akan
menjadi pemangsa utama penghasilannya sendiri.
Lantas, bagaimana menghadangnya? Langkah pertama adalah menemukan
biang keladinya. Saya menemukan dua pemangsa besar penghasilan manusia.

Satu di antaranya sudah kita bahas contoh-contohnya, yakni gaya hidup atau
lifestyle. Yang kedua adalah kebocoran atau leak. Keduanya tercatat dalam
sejarah sebagai penyebab orang jatuh miskin. Keduanya kadang berkelindan,
kadang berdiri terpisah. Dalam keadaan bagaimanapun, keduanya tetap
mematikan!

Gaya Hidup
Anda ingat Myke Tyson? Petinju fenomenal ini punya penghasilan melimpah
dari berlaga di ring tinju dan berperan sebagai bintang iklan. Sayangnya,
penghasilan yang besar tidak mengantarkannya menjadi orang kaya. Bangga
namanya dielu-elukan sebagai petinju hebat di atas ring, Mike Tyson merasa
harus tampil hebat pula di luar ring. Hidup glamour dia jalani. Teman-temannya
dari kalangan jetset, mobil mewahnya gonta-ganti. Tak puas dengan itu, Tyson
juga menjajal meja judi, termasuk berbagai pesta mahal dengan beberapa
wanita teman kencannya.

Akibatnya membuat prihatin. Penghasilan Tyson yang ditaksir mencapai 300
juta dolar AS, habis dalam waktu sekejap. Si Leher Beton itu kini hidup nelangsa
dan terjebak dalam utang US$ 5 juta lebih.

Mungkin Anda kerap heran melihat beberapa selebriti nasional kita. Mereka
selalu tampil di televisi dengan gaya hidup mewah, pakaian serba mahal, mobil
terbaru, tinggal di apartemen mewah, dan hobi mahal. Pada akhirnya, tak sedikit
yang harus berurusan dengan polisi. Ada yang dilaporkan menipu rekan bisnis,
ada juga yang dianggap mangkir dari cicilan utang. Tak sedikit yang nekat
menjadi pemakai atau pengedar narkoba demi gaya hidupnya.

Income besar yang mereka peroleh tak pernah bisa mereka simpan, apalagi diubah
menjadi investasi yang bisa menghasilkan income lagi. Mereka berpenghasilan
melimpah, tapi bermental miskin. Mereka sama saja dengan para petani dan
pengusaha tembakau di pegunungan. Begitu panen dan dapat uang, mobil
dan barang elektronik baru pasti langsung menghiasi rumah mereka. Mobil itu
mereka pakai untuk mencari rumput dan dibawa pergi ke sawah. Kulkas pun
untuk menyimpan baju. Mereka membeli bukan karena kebutuhan, tapi karena
keinginan dianggap kaya.

Melalui aktivitas, penampilan, pilihan hobi, dan cara bicara, orang-orang
bermental miskin ini memoles citra dirinya bisa masuk ke golongan orang
kaya. Semua jelas semu. Di balik perhatian dan kekaguman orang lain
kepadanya, dia sendiri menderita gara-gara gaya hidupnya.

Bukan hanya pengusaha dan selebriti. Gaya hidup yang salah juga dianut sebagian
karyawan dan pegawai negeri sipil di negeri kita. Menjelang Lebaran, mereka
menerima Tunjangan Hari Raya (THR) yang senilai dengan satu kali gaji. Karena
mentalitas miskin mereka yang selalu ingin SPENDING, daftar belanja sudah di
tangan, jauh sebelum THR dibagikan. Tak sedikit yang langsung membeli aneka
barang secara kredit. Toh nanti ada THR. Di bank atau koperasi perusahaan,
banyak Surat Keputusan (SK) pegawai yang digadaikan demi renovasi rumah
atau membeli mobil baru. Akibatnya, ketika gaji atau THR mereka turun, tak
ada yang bisa dinikmati. Aneka potongan cicilan sudah menanti, dan biasanya,
melebihi jumlah THR atau bonus yang diterima.

Sementara itu, ada juga pengusaha-pengusaha yang memilih tampil bersahaja.
Meski usaha mereka berkembang, mobil-mobil tua tetap mereka pakai kemana mana.
Walau uang mereka lebih dari cukup untuk cicilan mobil baru, mereka tak
tergoda. Pengusaha-pengusaha dari etnis China, misalnya, tak peduli dengan
anggapan orang tentang gaya hidup mereka. Tapi tanpa berkoar, mereka
mampu menyekolahkan anak-anak ke luar negeri dengan biaya mahal.

Tak sedikit orang kaya yang hobi main golf, dan punya lebih dari satu mobil
mercy bahkan ferrari. Bisa jadi itu juga gaya hidup mereka. Bedanya, mereka
melakukannya dengan perhitungan matang. Tak akan ada kesulitan finansial
yang mengancam mereka dua tiga tahun mendatang. Itu pilihan gaya hidup
mereka, dan mereka mampu membayarnya dari anggaran yang sudah pasti.

Jadi, jika kita tak benar-benar mampu membiayai gaya hidup yang mahal, jangan
coba-coba mempertaruhkan hidup demi gengsi. Kendalikan diri, karena gengsi
tak akan selesai dibayar dengan satu kali transaksi. Selalu ada godaan untuk
menurutinya, lagi dan lagi, walaupun kita tahu bahwa gengsi adalah sesuatu yang
hanya terlihat di permukaan. Padahal, substansi dari meningkatkan pengendalian
diri adalah bagaimana menjalani gaya hidup yang semurah mungkin. Semurah
mungkin yang saya maksud adalah murah untuk diri kita. Jelas, kita tak bisa
menetapkan patokan seberapa murah ini dengan menggunakan ukuran orang lain.

Seseorang yang mengikuti gaya hidupnya cenderung tidak memperhatikan
uangnya. Ingat! Uang ibarat pasangan kita, kalau tidak kita perhatikan dia
akan meninggalkan kita.

Ayo kita mulai koreksi diri. Kendalikan hidup Anda, buatlah hidup Anda semurah
mungkin:
1. Lihatlah kebiasaan dan hobi Anda sehari-hari
2. Catatlah setiap pengeluaran Anda dan review setiap saat
3. Buatlah anggaran kebutuhan Anda
4. Jangan pernah belanjakan uang yang belum Anda terima
Anda pasti bisa, karena sebenarnya kendali ada di tangan Anda. Gaya hidup itu
pilihan, dan Anda pasti ingin pilihan yang membawa hasil terbaik.

Kebocoran
Setelah gaya hidup, biang keladi kedua yang harus memperoleh perhatian
serius adalah kebocoran. You can’t be wealth before you stop the leaks. Anda
tak akan bisa kaya sebelum menghentikan kebocoran. Yang saya maksud
dengan kebocoran adalah hilangnya potensi pemasukan (income) tanpa ada
manfaatnya. Jika Anda ingin membangun kekayaan, maka segala kebocoran
harus dihentikan.

Suatu hari, Anda membeli tabung gas elpiji untuk keperluan memasak. Setelah
dipasang di kompor, ternyata tanpa Anda sadari, selang gas tersebut bocor.
Akibatnya, tidak semua gas yang ada di dalam tabung mengalir ke kompor.
Banyak gas yang keluar sia-sia. Anda selalu bingung dan mengeluh, mengapa gas
cepat habis. Anda tak ingin kejadian ini menggerogoti kas dapur Anda, bahkan
memicu bahaya kebakaran yang dahsyat. Setelah meneliti, Anda menemukan
bahwa selang yang bocor itulah penyebabnya. Jadi, tak ada langkah yang lebih
bijak daripada menggantinya dengan selang yang lebih bagus. Atau jika tak
punya uang cukup, Anda bisa menambalnya dan tetap mengusahakan selang
pengganti.

Dalam kehidupan, banyak orang yang kehilangan uang namun mereka tidak
merasakannya. Banyak juga orang yang terus merasa uangnya berkurang,
namun menganggapnya hal wajar. Di sisi lain, banyak yang sadar dan merasa
keuangannya bocor, tapi tak mampu berbuat apa-apa. Saya berharap, Anda
bukan salah satunya. Banyak sekali kebocoran yang mengacam uang Anda. Dan
kebocoran ini menghalangi Anda dalam membangun kekayaan yang sehat.

Ketika Anda mengeluarkan uang, dan Anda tidak merasakan manfaatnya;
uang itu menguap begitu saja, maka Anda mengalami kebocoran. Berikut ini
beberapa contohnya :

a. Kartu Kredit
Sepuluh tahun terakhir ini terjadi lonjakan penggunaan karti kredit di
Indonesia. Fenomena itu mengiringi maraknya bank yang meluncurkan
Automatic Teller Machine (ATM) di berbagai penjuru. Awalnya, penggunaan
ATM dan kartu kredit hanya difasilitasi di kota-kota besar. Kini, Anda bisa
menemukannya nyaris di manapun.

Kemudahan yang ditawarkan oleh bank ini disambut antusias oleh warga
masyarakat, dan menjadi gaya hidup baru. Gaya hidup kelas tinggi dan
modern. Akhirnya, kita jadi merasa tidak bisa leluasa bergerak jika tidak
memegang ATM atau kartu kredit. Syarat ringan yang ditawarkan oleh bank
pemberi kartu kredit juga membuat banyak orang tergiur. Konyolnya, mereka
menganggap kartu kredit sebagai sumber penghasilan baru. Tak cukup satu,
belasan kartu kredit dari berbagai bank mereka lahap semua.
Kartu kredit, sumber kebocoran yang jarang disadari


Kartu kredit ini penemuan dilematis. Bagi bangsa yang kaya, yang warganya
bermental kaya, kartu kredit tak akan mendatangkan bahaya apapun.
Sebaliknya, bagi bangsa yang miskin, yang warganya bermental miskin, kartu
kredit adalah pisau tajam di tangan bayi.

Kartu kredit adalah jenis utang yang didesain untuk tidak terbayar,
karena di dalamnya ada yang disebut dengan compound interest atau
bunga berbunga. Di IIBF, kartu kredit termasuk dalam kategori utang
buruk (bad bebt) yang harus segera ditinggalkan, karena
akan membuat kita jatuh miskin

Transaksi perbankan dengan menggunakan kartu diperkenalkan pada tahun
1924 di Amerika Serikat. Tahun 1950, Dinners Club dan American Express
menjadi kartu berbahan plastik pertama. Sembilan belas tahun kemudian,
ATM pertama kali muncul di Inggris. Tak lama sesudahnya, ide tentang kartu
kredit mulai menyebar ke seluruh dunia, dan tahun 1995, lebih dari 90 persen
transaksi perbankan di Amerika dilakukan secara elektronik.

Apakah artinya? Catatan sejarah menunjukkan bahwa sebelum 1950, belum
ada kartu ATM apalagi kartu kredit. Jadi, terlalu mengada-ada jika ada
orang yang berkata tak bisa hidup tanpa kartu kredit. Toh peradaban sudah
ada sebelum kartu utang itu muncul. Pengusaha kaya juga sudah banyak
menorehkan sejarah, tanpa mereka tahu bahwa akan ada masa di mana kartu
kredit memperbudak begitu banyak manusia.

Untuk menarik minat nasabah, lembaga yang mengeluarkan kartu kredit
menjanjikan berbagai macam kemudahan. Salah satunya adalah tidak adanya
bunga bagi nasabah yang bisa melunasi tagihan kurang dari satu bulan atau
sebelum jatuh tempo. Kebijakan ini tentu hasil riset yang memadai. Pemberi
kredit paham benar dengan mentalitas masyarakat pada umumnya. Di antara
ribuan nasabah, hanya sedikit orang yang akan membayar penuh sebelum
jatuh tempo. Selebihnya akan melakukan minimum payment atau membayar
berdasar batas minimal. Jika dihitung, dengan bunga 3% per bulan, seseorang
yang terbiasa membayar dengan minimum payment setiap bulan, maka
hutang kartu kreditnya akan lunas dalam waktu 44 tahun!

Dengan demikian, kita jelas melihat bahwa kartu kredit merupakan
pohon uang bagi lembaga perbankan yang mengeluarkannya. Dengan
memanfaatkan mentalitas konsumtif para nasabahnya, berbagai inovasi
yang memikat terus diluncurkan. Salah satunya adalah tentang konsep kredit
limit atau pagu atau plafon, yaitu batas maksimal kredit yang bisa digunakan
nasabah. Bank selalu mendorong nasabah melakukan penggunaan maksimal,
sehingga keuntungan bank juga maksimal.

Sementara bagi pemegang kartu kredit, pagu atau kredit limit itu dimaknai
sebagai batas penggunaan maksimal atau target belanja maksimal. Jika
kredit limit sebuah kartu adalah Rp 50 juta, maka sebagian orang berpikir
bisa berbelanja hingga senilai Rp 50 juta. Intinya, kredit limit bukan dimaknai
sebagai peringatan, melainkan sebagai target yang harus dihabiskan. SALAH
KAPRAH!

Kartu kredit ini penemuan dilematis. Bagi bangsa yang kaya, yang
warganya bermental kaya, kartu kredit tak akan mendatangkan bahaya
apapun. Sebaliknya, bagi bangsa yang miskin, yang warganya
bermental miskin, kartu kredit adalah pisau tajam di tangan bayi.

Jika Anda tertib membayar tagihan, atau sering bertransaksi dengan plafon
maksimal, Anda akan dihubungi oleh pihak penerbit kartu kredit. Mereka
menyatakan bahwa Anda memperoleh “kehormatan” berupa kenaikan
plafon. Manusia bermental miskin yang selalu berhasrat spending akan
segera melahapnya.

Sekarang, coba kita amati. Saat ini siapapun bisa punya kartu kredit. Ibu
rumah tangga, mahasiswa, bahkan pegawai bergaji kecilpun bisa memilikinya.
Bagaimana tidak, syarat memperolehnya cukup dengan fotokopi Kartu
Tanda Penduduk. Dan para petugas pemasaran kartu kredit demikian gencar
mengejar nasabah di berbagai tempat.

Berikutnya, renungkan. Jika kondisi ekonomi Anda pas-pasan tapi memiliki
kartu kredit, maka Anda perlu ekstra hati-hati. Coba cermati catatan di bawah
ini. Apakah Anda sedang berdiri di sisi jurang jebakan utang kartu kredit
yang gelap dan pengap, yang mendatangkan malapetaka bukan hanya bagi
Anda tapi juga keluarga dan teman Anda :
1. Anda tidak membayar tagihan tepat pada waktu. Keterlambatan berarti
denda. Semakin terlambat, denda semakin banyak.
2. Anda terlambat membayar tagihan hingga satu minggu. Anda akan
segera ditelepon petugas kartu kredit. Jika Anda kemudian membayar,
maka Anda akan dikenai Rp 25 hingga Rp 100 ribu, ditambah bunga
harian.
3. Anda terlambat membayar sampai dengan tanggal cetak kartu kredit
berikutnya. Bersiaplah! Bunga sampai dengan 4% setiap bulan akan
menghantui Anda. Tak perlu mahir menghitung. Angka itu berarti 48%
setahun. Inilah awal malapetaka.
4. Anda terlambat lebih dari satu bulan. Anda akan berkenalan dengan
debt collector atau juru tagih. Bukan hanya Anda, keluarga Anda juga
akan ditelepon untuk membicarakan tagihan kartu kredit Anda. Mulailah
keluarga Anda resah, karena ada penagih yang meneror dengan ucapan ucapan
tidak sopan.
5. Anda belum membayar juga setelah ditelepon. Rumah Anda akan
didatangi oleh debt collector yang akan menekan Anda dan keluarga.
Mereka tak segan mempermalukan atau mengancam Anda di hadapan
tetangga dan teman, agar Anda mau membayar.

Salah satu kebocoran yang paling sulit ditutup adalah kebocoran yang
disebabkan oleh kartu kredit

Sebaliknya, jika pembayaran Anda tertib dan lancar, maka kemungkian besar:
1. Plafon kredit Anda dinaikkan, sehingga belanja konsumsi Anda cenderung
meningkat juga.
2. Anda memperoleh tawaran pinjaman lunak, dengan bunga 1 atau 2%
fixed. Tawaran ini sangat menggoda, terutama saat Anda perlu uang.
Manusia bermental miskin selalu ingin uang untuk dibelanjakan, tak
peduli dari manapun asalnya.
3. Anda akan ditawari kartu kredit untuk pasangan Anda. Jika Anda mahir
mengendalikan diri, belum tentu pasangan Anda bisa. Jika bank tak
bisa mengambil keuntungan dari Anda, maka mereka akan mengincar
pasangan Anda.
4. Bank lain akan gencar menawarkan kredit lain dengan berbagai iming iming.
Tanpa iuran tahunan, tanpa bunga, tanpa proses berbelit, dan
tanpa-tanpa yang lain.
5. Anda akan dihubungi petugas asuransi yang menawarkan cara
pembayaran dengan mendebit kartu kredit Anda.
6. Anda akan dilimpahi berbagai hadiah karena poin belanja yang tinggi,
dan Anda akan cenderung ingin terus menambah poin belanja.

Bagaimana jika Anda memang perlu kartu kredit untuk melakukan transaksi
atau pembayaran tertentu? Miliki cukup satu saja, dan lunasi tagihannya
sebelum jatuh tempo. Kendalikan diri Anda. Jadikan kartu kredit sebagai
alat bayar, bukan alat utang. Bangga dengan kartu kredit yang menyesaki
dompet? Sudah bukan zamannya.

b. Hutang Konsumtif
Jika ingin kaya, kuasailah ilmu tentang bisnis. Jika tak ingin miskin, kuasailah
ilmu tentang utang. Banyak orang yang salah kaprah tentang utang. Mereka
bangga dengan utang yang banyak. Menurut mereka, semakin banyak bank
yang mau memberikan pinjaman berarti mereka sukses menjadi orang
terpercaya.
Memang, tak ada yang aneh dengan berutang. Banyak orang sukses yang
membangun kekayaannya dengan berutang. Masalahnya, utang orang
miskin dan utang orang kaya itu jaun berbeda.
• Orang kaya berutang untuk investasi, orang miskin berutang untuk
konsumsi
• Orang kaya sangat cermat dengan biaya atas utangnya, orang miskin
tak peduli. Berapapun biayanya akan dibayar, yang penting bisa mencicil
setiap bulan
• Orang kaya tahu caranya melunasi utang sejak awal, orang miskin
berpikir : yang penting utang dulu, cara bayarnya dipikirkan kemudian
• Orang kaya bisa keluar dari utangnya yang banyak itu, orang miskin kian
terjerat; utangnya yang semula kecil jadi semakin banyak

Kita hidup di hadapan sedemikian banyak lembaga keuangan yang selalu
menawarkan pinjaman. Mereka lihai sekali membidik mangsa yang tepat,
dan bergerak sangat agresif, penuh inovasi. Iklan penuh rayuan tersebar di
mana-mana. Produk kapitalis ini menggoda Anda dari berbagai sisi, dengan
berbagai teknik. Lantas, sejauh mana Anda bisa mengendalikan diri? Sekuat
apa komitmen Anda untuk hidup semurah mungkin? Sekuat apa komitmen
Anda kepada ketentuan agama bahwa riba itu haram?

Utang konsumtif paling mudah digunakan, tapi paling sulit dikembalikan.
Tak mungkin mengembalikan apa yang sudah kita pakai dan makan

Ingat. Semua orang, termasuk lembaga keuangan yang meminjamkan
uangnya, tentu berharap uang mereka kembali. Apalagi jika orang atau
lembaga itu punya inisiatif agar uangnya dipinjam, tentu mereka akan
berjuang keras agar mereka kembali, lengkap dengan bunga dan dendanya

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, semakin mudah syarat
sebuah pinjaman, semakin besar pula biaya yang harus ditanggung
peminjam. Semakin ringan syarat yang ditetapkan lembaga perbankan atau
rentenir, maka semakin bengislah cara mereka menagih.
Jadi, hanya dengan gaya hidup murah dan kendali diri sajalah kita bisa
tenang berhadapan dengan kelicikan kaum rentenir. Kita tak akan terjebak
dalam lingkaran haram yang mereka ciptakan, yang akan menodai hidup
kita, dan merusak keluarga kita.

Tips menutup utang dan kebocoran
1. Memotong pengeluaran
• Identifikasi pengeluaran yang bisa dipotong, dan potong saat ini juga.
• Buatlah anggaran sehari-hari
• Batasi penggunaan kartu kredit, miliki satu saja. Gunakan kartu kredit
sebagai alat bayar, bukan alat utang

Banyak orang yang jatuh miskin justru setelah penghasilannya
meningkat. Kehidupannya juga semakin rumit, utangnya
bertambah banyak.

2. Lunasi hutang konsumtif dengan konsep Snowballing
Snowballing adalah sebuah konsep ajaib yang sangat mungkin untuk kita
lakukan guna mempercepat pelunasan utang – utang konsumtif. Hanya
dengan anggaran 10% lebih tinggi dari anggaran yang biasa kita keluarkan
setiap bulannya untuk membayar cicilan, maka utang kita akan lunas dalam
waktu jauh lebih cepat dari yang seharusnya, bahkan dengan total uang yang
jauh lebih kecil dari yang seharusnya kita keluarkan untuk melunasi utang utang
tersebut.

Satu hal yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin melakukan metode
pelunasan cepat ini adalah komitmen pada diri sendiri, tekad dan disiplin
dalam menjalankannya.

Seseorang dengan banyak kartu kredit, yang memiliki sejumlah kredit dari
mulai elektronik, sepeda motor, atau mobil, bahkan cicilan untuk rumah
tinggalnya yang biasanya sampai 15 tahun, dengan menjalankan snowbowling
akan lunas dalam waktu minimal 6 tahun lebih cepat dari seharusnya, dengan
jumlah uang yang bisa dihemat jumlahnya juga sangat besar.

3. Kenali pengeluaran yang tidak disadari
Anda masih ingat selang gas yang bocor? Banyak orang kehilangan uang
untuk sesuatu yang tidak dia ketahui. Alih-alih memeriksa selang dan
komponen yang lain, dia bergegas membeli kompor baru. Tindakan ini
bukan menutup kebocoran, justru membuat lubang yang lebih besar. Gas
tetap bocor, uang keluar sia-sia karena membeli kompor di saat dia belum
membutuhkan yang baru.

Jika Anda hendak bepergian dengan pesawat, di bandara Soekarno-Hatta,
misalnya, Anda akan dihadang oleh sejumlah perusahaan asuransi. Dengan
jurus-jurus maut, mereka merayu calon penumpang agar membeli asuransi
tambahan. Jika termakan bujukan, berarti Anda termasuk orang yang
kehilangan uang untuk sesuatu yang tidak Anda ketahui. Mengapa? Karena
jika Anda mengalami suatu musibah, dan sudah mendapatkan asurasi dari
perusahaan tertentu, maka asuransi sejenis dari perusahaan lain tidak akan
berlaku. Jadi, asuransi tambahan itu tidak bermanfaat. Anehnya, banyak juga
orang yang bersedia membeli.

Jika Anda sering menggunakan kartu kredit hingga over limit, maka Anda
terkena denda. Anda mungkin tidak menyadari bahwa denda over limit itu
cukup besar. Jadi, masihkah Anda santai melanggar plafon kredit? Atau, yang
paling sering terjadi, Anda keliling swalayan sambil mendorong keranjang.
Dengan enteng Anda masukkan berbagai macam barang. Semua nampak
penting dan harus dibeli. Setelah sampai di rumah, sebagian barang yang
Anda beli ternyata tidak begitu penting, atau tidak begitu mendesak.

Di level perusahaan, kita bisa belajar dari Muhammad Nadjikh, pengusaha
sukses yang membangun bisnisnya dari nol. Dia adalah pendiri PT Kelola
Mina Laut, perusahaan yang bergerak di bidang ekspor perikanan. Di saat
perusahaannya berkembang, Nadjikh mengangkat seorang konsultan
bergaji tinggi. Namun setelah beberapa saat, Nadjikh merasa sang konsultan
justru lebih banyak belajar kepadanya. Tanpa menunggu lama, Nadjikh
menghentikan jasa konsultan itu.

Saya melihat banyak perusahaan yang menggunakan jasa konsultan. Padahal,
tak selamanya konsultan permanen itu diperlukan. Tetapi, demi ingin terlihat
sebagai perusahaan besar dan bonafid, mereka tutup mata dan berani bayar
mahal, untuk sesuatu yang tak perlu.

4. Investasi pada bidang yang tidak dikuasai
Banyak orang kehilangan uang karena menanamkan uang pada bisnis yang
tidak mereka kuasai. Dengan impian memperoleh untung besar dalam waktu
cepat, mereka nekat. Ketika nasib tragis menimpa investasinya—uang hilang
utang datang—penyesalan tak akan mengembalikan uangnya. Banyak orang
yang mudah tergiur dengan bisnis investasi yang menguntungkan, namun
mereka akhirnya bernasib tragis karena kehilangan uangnya.

Sekitar tahun 1994, di Yogyakarta booming bisnis sarang burung walet.
Burung unik ini seperti magnet baru yang membuat orang bermimpi bisa
kaya mendadak. Pengelola bisnis walet menjanjikan keuntungan 20-30
persen dari uang yang diinvestasikan. Sungguh mengggoda.

“Investor” dari kalangan mahasiswa, dosen, masyarakat umum, hingga
pejabat pemerintahan beramai-ramai setor uang. Kebanyakan dari mereka
bermental miskin, yang sangat berhasrat untuk cepat kaya. Mereka tak mau
tahu bahwa kekayaan itu harus dibangun dengan proses dan cara yang
benar. Tak pernah instan. Sayangnya, demi kekayaan instan yang semu itu,
mereka merelakan uang apapun, termasuk hasil utang.

Bumi menyediakan cukup untuk kebutuhan manusia,tapi tidak pernah cukup untuk kerakusan manusia~ Mahatma Gandhi ~

Keuntungan di bulan pertama mereka rayakan dengan sukacita. Mentalitas
miskin sudah tentu mendorong mereka untuk segera berbelanja. Bulan
kedua ketiga masih lancar, uang masih mengalir. Bulan berikutnya, saat gaya
hidup mulai menanjak, pencairan keuntungan justru mulai tersendat. 12
bulan kemudian, investasi instan itu sudah macet. Padahal, saat itu uang dari
masyarakat terus mengalir, termasuk dari para petani yang sampai jual sawah
demi bisnis sarang wallet.

Lain lagi dengan skadal PT Qurnia Subur Alam Raya atau QSAR yang berpusat
di Jawa Barat. Mereka berhasil menguras dana 6.800 investor dengan total
uang senilai Rp 500 miliar, kabarnya untuk investasi agrobisnis. Keuntungan
pasti 15-25% yang ditawarkan memang menyilaukan. Bank saja tak akan bisa
memberikan keuntungan lebih dari 12%. Kasus walet terulang. Bulan-bulan
pertama keuntungan terus mengalir, bulan berikutnya tersendat dan macet.
Investor tidak pernah tahu bahwa bunga yang mereka terima itu berasal dari
uang investor yang disetor sesudah mereka. Korban juga lagi-lagi dari kelas
ekonomi bawah hingga pejabat pemerintahan.

Bukan hanya Indonesia. Negara yang dikenal super kaya seperti Amerika
pun terkena wabah ngebet kaya. Tragisnya, korbannya adalah orang-orang
kaya kelas dunia dan perusahaan global yang mendunia. Pelakunya adalah
Bernard Madoff, pendiri perusahaan sekuritas Bernard L Madoff Investment
Securities LLC. Korban Madoff bukan saja pengusaha AS tetapi lintas negara.
Total dana yang berhasil dihimpun Madoff dalam investasi bodong tersebut
mencapai lebih dari 50 miliar dolar AS atau sekitar Rp 550 triliun!

Penggalangan dana investasi ala Madoff itu dikenal sebagai skema Ponzi.
Keuntungan yang dibayarkan kepada investor berasal dari uang investor baru.
Dengan cara inilah Charles Ponzi mengguncang Amerika pada era 1920-an,
dan namanya diabadikan sebagai skema kejahatan investasi yang masih saja
menelan korban hingga saat ini. Jadi, bisnis walet, QSAR dan Madoff, adalah
penipuan berkedok investasi. Dan sayangnya, selalu saja ada orang yang
bersedia menjadi korbannya.

Anda tentu tak ingin mengalami hal yang sama. Karenanya, perlakukan uang
Anda dengan baik. Pilihlah investasi di bisnis yang benar-benar Anda kuasai.
Jika Anda memutuskan untuk merambah bidang lain, maka investasikan dulu
waktu Anda untuk mempelajarinya dengan seksama.
Ingat petani kaya dari Karawang? Mungkin tanpa tahu istilah investasi
sekalipun, dia memilih menanamkan uangnya untuk membeli sawah. Petani
ini bermental kaya, dan melakukan investasi dengan pengetahuan dan naluri
orang kaya. Orang yang menghargai uangnya melalui investasi di bidang
yang dikuasainya. Bagaimana dengan Anda?

Seseorang yang tidak menyadari jati dirinya tak akan jadi siapa-siapa.


Baca Juga :